Ecobiz.asia — Komitmen ambisius Presiden Prabowo untuk mencapai 100 persen energi terbarukan pada 2035 dinilai membutuhkan pembiayaan masif serta reformasi kebijakan yang konkret, terutama dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan.
Komitmen ini disampaikan Prabowo dalam kunjungan kenegaraan ke Brasil, dan sebelumnya telah ditegaskan dalam forum G20, termasuk target penambahan 75 gigawatt kapasitas energi terbarukan dan percepatan pencapaian Emisi Nol Bersih menjadi tahun 2050, satu dekade lebih cepat dari target sebelumnya.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya menyatakan, tantangan terbesar untuk mencapai komitmen Presiden Prabowo tersebut adalah meminimalkan dan membatalkan beberapa pembangunan pembangkit fosil (batu bara gas), memensiunkan dini PLTU batu bara yang ada, dan secara masif membangun pembangkit energi terbarukan.
Baca juga: Pensiun Dini PLTU, Pemerintah Cari Dukungan Pendanaan Dari Negara Lain
Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, pemerintah menetapkan porsi energi terbarukan sebesar 61 persen, sementara pembangkit fosil seperti batu bara dan gas dibatasi hanya 24 persen.
Menurut Tata, untuk mengejar target RUPTL, Indonesia harus membangun pembangkit energi terbarukan dengan kecepatan 4,5 kali lipat pada periode 2025–2029, dan meningkat hingga 11 kali lipat pada 2030–2034 dibandingkan dengan kecepatan pembangunan saat ini.
“Pemerintah kerap menyebut minimnya pendanaan sebagai penghambat utama. Padahal, kami menghitung potensi dana dari tambahan pungutan produksi batu bara dan investasi dari China bisa mencapai Rp 819,6 triliun selama 10 tahun,” kata Tata di Jakarta, Senin (14/7/2025).
Menurut publikasi terbaru SUSTAIN, penambahan pungutan produksi batu bara bisa menghasilkan Rp 675,6 triliun selama 2025–2034.
Sementara itu, dari potensi pembiayaan bilateral, khususnya dari China di mana Indonesia menjadi penerima dana terbesar dalam skema Belt and Road Initiative (BRI) berpotensi masuk sebesar Rp 144 triliun untuk sektor energi.
Baca juga: Indonesia-Brasil Sinergi Bioenergi: Menuju Masa Depan Energi yang Berkelanjutan
Jika digabungkan, potensi dana dari dua sumber tersebut dapat menutup sekitar 77 persen kebutuhan pembiayaan untuk proyek energi terbarukan swasta, jaringan transmisi, dan distribusi di dalam RUPTL selama masa pemerintahan Prabowo periode pertama (2025–2029).
Meski demikian, Tata menegaskan bahwa dua sumber ini tidak mencukupi. Pemerintah tetap harus melakukan reformasi kebijakan di sektor energi dan fiskal untuk mengalihkan pembiayaan dari energi fosil ke energi terbarukan.
Hal ini mencakup peningkatan insentif, perbaikan regulasi investasi, dan pemanfaatan sumber dana domestik serta asing secara lebih agresif.
Baca juga: Percepat Transisi Energi, Pemerintah Fokus Realokasi Anggaran dan Reduksi Subsidi
“Pada 2023, Indonesia hanya berhasil menarik investasi sebesar 1,5 miliar dolar AS untuk energi terbarukan. Padahal, kebutuhan dana di sektor ini mencapai 105,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.682,4 triliun,” ujarnya, mengutip catatan IEEFA.
Untuk mengelola dan menyalurkan pendanaan secara efektif, Tata menyarankan agar Badan Pengelola Investasi Danantara dilibatkan secara aktif.
“Danantara bisa mengelola dua sumber pendanaan ini untuk langsung diarahkan ke proyek-proyek pengembangan energi terbarukan yang tercantum dalam RUPTL,” tegasnya. ***