Ecobiz.asia – Ketua Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA), Riza Suarga, menyatakan bahwa penandatanganan Mutual Recognition Agreement (MRA) antara Indonesia dan lembaga standar internasional merupakan langkah penting, namun baru tahap awal dalam membangun pasar karbon nasional yang kredibel dan kompetitif.
Riza menegaskan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar implementasi MRA benar-benar efektif dan memberikan dampak nyata.
“Jangan sampai kita kebanyakan menandatangani MRA, tapi akhirnya mubazir. Harus ada langkah konkret setelahnya,” ujar Riza dalam diskusi bertajuk Unlocking Potential: Progress After MRA in Indonesia Carbon Market Ecosystem di Jakarta, Kamis (22/5/2025).
Baca juga: Miliki Potensi Terbesar di Asia Pasifik, Menteri ESDM Ajak Kontraktor Garap Carbon Capture
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) sebelumnya telah menandatangani MRA dengan lembaga internasional Gold Standard, dan saat ini tengah menyelesaikan proses MRA serupa dengan Verra serta sejumlah lembaga standar internasional lainnya.
Selain itu, Indonesia juga telah menandatangani MRA bilateral dengan Jepang dalam kerangka Joint Crediting Mechanism (JCM), sebagai bagian dari kerja sama pengurangan emisi karbon lintas negara.
Riza menyebut bahwa langkah-langkah tersebut patut diapresiasi, namun ia menekankan bahwa efektivitas implementasi MRA sangat bergantung pada kesiapan internal Indonesia.
Pekerjaan rumah pertama yang disoroti adalah penyelarasan regulasi dan kerangka hukum nasional dengan standar internasional. Menurutnya, proses validasi oleh lembaga seperti Verra masih berjalan lambat dan memerlukan dukungan kuat dari pemerintah agar dapat dipercepat.
“Kita sudah siapkan semuanya untuk mereka, sekarang bolanya ada di tangan mereka,” katanya.
Pekerjaan rumah kedua adalah penguatan infrastruktur dan sistem data nasional, khususnya Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI).
Baca juga: Resmi Jalin MRA dengan Gold Standard, KLH Buka Akses Pasar Karbon Lebih Luas
Riza menekankan pentingnya memperkuat SRN sebagai pusat data karbon Indonesia yang kredibel dan terintegrasi.
IDCTA sendiri tengah berkolaborasi dengan Space Intelligence untuk memperbarui data penutup lahan nasional, dengan menjunjung tinggi kedaulatan data dan rencana penempatan pusat data di dalam negeri.
Poin ketiga yang tak kalah penting adalah kesiapan pasar dan pelaku usaha, baik dari sisi pengembangan proyek karbon maupun ketersediaan pembeli.
Menurut Riza, tidak semua standar memiliki pasar yang matang. Oleh karena itu, proyek-proyek baru perlu terlebih dahulu membuktikan bahwa ada permintaan yang nyata.
“Market and investor readiness ini sangat penting. Kita harus menunjukkan bahwa proyek karbon Indonesia punya nilai jual. Salah satunya lewat pilot project yang konkret,” ujarnya.
Baca juga: KLH Bentuk Satgas Implementasi Pasca-MRA untuk Perkuat Pasar Karbon
Ia mencontohkan proyek Blue Ammonia di Sulawesi yang tengah disiapkan sebagai bagian dari package deal implementasi MRA.
Riza mengungkapkan optimismenya bahwa dengan kolaborasi lintas pihak dan regulasi yang semakin mendukung, Indonesia dapat memperkuat peran strategisnya dalam perdagangan karbon global.
“Signing MRA luar biasa, tapi pekerjaan rumah kita masih banyak. Ini baru permulaan,” pungkasnya. ***