Ecobiz.asia – Bank Indonesia (BI) memperingatkan dampak perubahan iklim berpotensi memangkas hingga 40 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia jika tidak diantisipasi dengan langkah mitigasi serius.
Angka ini jauh di atas rata-rata global yang diperkirakan hanya 18 persen.
Kepala Grup Ekonomi dan Keuangan Hijau BI, Kurniawan Agung, mengatakan kerugian ekonomi akibat bencana iklim saat ini rata-rata sudah mencapai Rp100 triliun per tahun.
“Kalau sampai tidak melakukan apa-apa, bisa meningkat sampai dengan 40% PDB,” ujarnya dalam acara Penguatan Sinergi Pembiayaan Hijau dalam Mendukung Transisi Ekonomi Berkelanjutan di Jakarta, Jumat (8/8/2025).
Menurut BI, banjir besar, angin puting beliung, dan cuaca ekstrem telah menggerus produktivitas sektor agraris dan maritim yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Selain risiko fisik, ancaman transisi juga mengintai: potensi embargo impor produk non-hijau, pajak karbon dari mitra dagang, penurunan peringkat kredit perusahaan non-hijau, hingga anjloknya nilai aset yang tak lagi sesuai preferensi pasar global.
Data perbankan menunjukkan pembiayaan untuk sektor “brown” kini semakin terbatas, dengan tenor pinjaman yang dipangkas dari 15–20 tahun menjadi sekitar 10 tahun.
“Sekarang untuk yang brown sector mungkin hanya sekitar 10 tahun,” kata Agung.
Mengacu pada Undang-Undang P2SK Pasal 35, BI memanfaatkan kewenangannya untuk mengatur dan mengembangkan pembiayaan inklusif dan keuangan hijau.
Lembaga ini juga bersinergi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengatur kewajiban penyaluran kredit bagi kelompok lanjutan, serta bekerja sama dengan Kementerian Keuangan melalui Komite Keuangan Berkelanjutan.
BI menegaskan kebijakan keuangan hijau tidak hanya menjadi instrumen mitigasi risiko, tetapi juga peluang untuk menarik investasi hijau global dan memperkuat rantai pasok berkelanjutan, termasuk bagi UMKM.
“Kita bisa tarik ratusan triliun atau ribuan triliun pembiayaan untuk mendorong ekonomi kita,” ujar Agung. ***