Ecobiz.asia – Meskipun kesadaran publik Indonesia terhadap perdagangan karbon tergolong tinggi, pemahaman yang mendalam serta kejelasan regulasi terkait mekanisme ini masih menjadi tantangan utama dalam implementasinya.
Demikian kesimpulan dari survei persepsi publik BCM Insights bertajuk “Perdagangan Karbon: Solusi atau Tantangan Baru?” yang dipaparkan peneliti, Muna Suhailah.
Survei yang dilaksanakan pada 18 Maret hingga 8 April 2025 ini mengungkap bahwa 88,4 persen responden pernah mendengar tentang perdagangan karbon.
Namun, hanya 11,5 persen yang mengaku benar-benar memahami mekanisme dan regulasinya secara mendalam. Sebagian besar responden, termasuk dari kalangan pelaku usaha dan pemerintah, hanya memiliki pemahaman dasar.
Baca juga: Sudah Buat Studi Kelayakan di Dua Lokasi, Perhutani Siap Masuki Bisnis Perdagangan Karbon
“Temuan ini menegaskan perlunya edukasi yang lebih komprehensif dan regulasi yang lebih jelas agar implementasi perdagangan karbon bisa berjalan optimal,” ujar Muna Suhailah dalam keterangannya dikutip, Jumat (2/5/2025).
Survei dilakukan secara daring dengan metode non-probability purposive random sampling terhadap 147 responden dari berbagai latar belakang, mulai dari pemangku kebijakan, pelaku usaha di sektor energi, pertambangan, kehutanan, hingga akademisi dan masyarakat umum yang peduli terhadap isu lingkungan.
Margin of error survei ini ±8,08% dengan tingkat kepercayaan 95%.
Dalam definisi spontan, mayoritas masyarakat umum mengaitkan perdagangan karbon dengan skema pengurangan emisi (29,6%), sementara pelaku usaha dan pemerintah lebih memahami konsep ini sebagai transaksi kredit karbon (53,3%) atau mekanisme pasar lingkungan (37,5%).
Dari sisi sumber informasi, lebih dari separuh responden mengetahui perdagangan karbon dari seminar, webinar, dan kebijakan pemerintah.
Namun masyarakat umum lebih banyak merujuk pada media sosial (55,6%) dan berita daring (51,9%).
Muna Suhailah saat memaparkan survei BCM Insights
Baca juga: Menteri LH Wanti-wanti: Kejahatan Karbon Kikis Kepercayaan Publik
Manfaat yang paling dirasakan dari perdagangan karbon, menurut para responden, antara lain pengurangan emisi gas rumah kaca (66,67%), membantu pencapaian target Nationally Determined Contributions (NDC) (55,10%), serta memberikan insentif ekonomi bagi perusahaan yang mengurangi emisi (44,90%).
Namun, survei juga mengungkap tantangan besar yang dihadapi, yaitu kurangnya pemahaman (55,78%) dan belum jelasnya regulasi (54,42%).
Khususnya di sektor usaha kehutanan, sebanyak 87,5 persen pelaku usaha menyebut regulasi yang belum memadai sebagai kendala utama.
Tingkat efektivitas regulasi saat ini juga dinilai belum maksimal, dengan rata-rata skor hanya 3,22 dari skala 5. Pelaku usaha di sektor kehutanan bahkan menilai efektivitas regulasi hanya 2,81 dari skala 5, mencerminkan pesimisme terhadap dukungan kebijakan yang ada.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Insentif Berbasis Ekosistem untuk Pelaku Perdagangan Karbon
Meski begitu, minat pelaku usaha untuk terlibat dalam perdagangan karbon terus tumbuh. Sekitar 32,4 persen sudah aktif terlibat, dan 43,2 persen lainnya menunjukkan ketertarikan meski masih dalam tahap mencari informasi. Sektor kehutanan tercatat sebagai yang paling aktif, dengan 56,3 persen pelaku usaha sudah berpartisipasi.
Sebagai penutup, Muna menegaskan bahwa percepatan implementasi perdagangan karbon memerlukan regulasi yang lebih rinci serta upaya edukasi dan sosialisasi yang lebih luas.
“Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil sangat krusial untuk memastikan skema ini dapat berjalan efektif dan berkeadilan,” ujarnya. ***