Ecobiz.asia — Pemerintah menegaskan bahwa penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) di sektor pertambangan kini menjadi keharusan dan tidak lagi bisa ditawar. Seluruh perusahaan tambang wajib menjalankan aspek lingkungan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta tanggung jawab sosial secara terpadu, bukan terpisah seperti sebelumnya.
Koordinator Perlindungan Lingkungan Mineral dan Batubara, Ditjen Minerba Kementerian ESDM Horas Pasaribu menegaskan bahwa pemerintah kini lebih tegas dalam menegakkan penerapan ESG. Sebanyak 190 izin usaha pertambangan (IUP) telah dihentikan sementara karena belum menempatkan jaminan reklamasi sesuai aturan.
“Kalau ESG dijalankan dengan baik, tentu tidak ada yang kena sanksi. Setiap IUP wajib menempatkan jaminan reklamasi. Ini bukan untuk pemerintah, tapi akan dikembalikan ke perusahaan setelah reklamasi terbukti dilaksanakan,” kata Horas dalam sebuah diskusi bertema “Uncovering ESG Transformation in Indonesia’s Nickel Mining Industry” di Jakarta, Jumat (24/10).
Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2025, penempatan jaminan reklamasi menjadi salah satu syarat utama persetujuan RKAB. Pemerintah menilai langkah ini jauh lebih tegas dibandingkan aturan sebelumnya, dan siap menghadapi penolakan dari pihak-pihak yang tidak patuh.
“Ini demi peningkatan penerapan ESG dan kepentingan nasional. Pemerintah tidak akan mundur,” ujar Horas.
Pada kesempatan yang sama Direktur Health Safety Environment (HSE) PT Harita Nickel Tony Gultom menegaskan bahwa penerapan ESG harus menjadi bagian menyatu dari praktik pertambangan berkelanjutan. Ia menyebut regulasi yang ada saat ini hanyalah syarat minimal, sementara perusahaan dituntut melangkah lebih jauh dengan kepatuhan penuh.
“Dulu komponen lingkungan, K3, dan sosial berjalan sendiri-sendiri. Sekarang tidak bisa lagi dipilah. ESG justru menyatukan semua itu karena aturannya sudah jelas,” kata Tony.
Tony menambahkan, tanggung jawab perusahaan tambang terhadap keselamatan kerja dan lingkungan bukan hanya untuk pekerja, tetapi juga untuk masyarakat sekitar. Ia menegaskan bahwa jaminan reklamasi dan penutupan tambang merupakan kewajiban dalam penerapan ESG.
“Kalau jaminan reklamasi tidak disetor, bagaimana bisa bicara beyond compliance? Dulu banyak perusahaan fokus pada produksi, tapi sekarang kalau dana reklamasi tidak ditempatkan, Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tidak akan disetujui,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai regulasi lingkungan di Indonesia tergolong ketat dibandingkan negara lain. Ia menilai penerapan ESG kini menjadi faktor penting bagi keberlangsungan bisnis tambang.
“ESG itu inherent dengan kegiatan pertambangan. Harita Nickel, misalnya, sudah menunjukkan praktik beyond compliance yang melampaui standar pemerintah. Ini bisa jadi contoh bagi perusahaan nasional lainnya,” kata Hendra.
Menurut Hendra, keberhasilan menerapkan ESG tidak hanya berdampak pada kelestarian lingkungan, tetapi juga pada kepercayaan publik, akses pendanaan, dan kemitraan global.
“Transparansi dalam ESG meningkatkan citra perusahaan di mata investor dan pembeli. Ini yang harus dicontoh oleh pelaku industri tambang lainnya,” ujarnya. ***





