Ecobiz.asia – Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI), Tony Wenas, menegaskan komitmen perusahaan dalam menerapkan prinsip tambang berkelanjutan meskipun industri ekstraktif secara alami tidak terbarukan.
Hal ini dipaparkan Tony pada Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2025 yang berlangsung di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin dan dipantau secara online, Senin (2/5/2025).
Tony menyatakan bahwa kegiatan pertambangan memang memiliki batas waktu, dan PTFI diproyeksikan berhenti beroperasi pada 2041.
“Tapi kehidupan ekosistem dan masyarakat tidak boleh berhenti di situ,” tegasnya. Oleh karena itu, perusahaan terus mengedepankan produksi yang aman dan berkelanjutan, termasuk melalui reklamasi dan rehabilitasi lahan pascatambang.
Baca juga: RUPTL 2025–2034: Ambisi Transisi Energi Hijau dan Tantangan Implementasi
Freeport telah melakukan reklamasi di area bekas tambang terbuka seluas 572 hektare pada ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut serta 1.100 hektare lahan bekas tailing.
“Tailing bukan bahan beracun, namun volumenya besar dan partikelnya halus sehingga perlu pengelolaan hati-hati,” ujar Tony.
Dalam mendukung agenda transisi energi, Tony mengungkapkan pentingnya tembaga—komoditas utama Freeport—untuk pengembangan energi terbarukan. “65% tembaga digunakan untuk menghantar listrik. Setiap megawatt pembangkit energi baru memerlukan 1,5–5,5 ton tembaga,” jelasnya.
Baca juga: Investigasi Longsor di Cirebon, Kementerian ESDM Terjunkan Inspektur Tambang
Freeport menargetkan produksi tembaga sebesar 800 ribu ton per tahun. Angka ini, menurut Tony, setara untuk memproduksi 6.000 unit Airbus A380, 200 GW tenaga surya, dan 640 GW pembangkit listrik tenaga air dalam 10 tahun.
“Kontribusi ekonomi kami ke negara tahun lalu hampir Rp80 triliun, termasuk Rp12 triliun untuk daerah,” ucapnya.
Selain itu, investasi sosial Freeport tahun 2024 mencapai hampir Rp2 triliun, dengan fokus utama pada pendidikan dan kesehatan masyarakat Papua. ***