Ecobiz.asia – Kolaborasi global diperlukan dalam menutup kesenjangan pembiayaan pengelolaan hutan lestari serta memastikan rantai pasok komoditas bebas deforestasi berjalan adil dan inklusif.
Hal itu disampaikan pemerhati perdagangan komoditas berkelanjutan, Diah Suradiredja, dalam sesi “Closing the Forest Finance Gap: Investing in People, Planet & Progress” yang digelar Tropical Forest Alliance (TFA) di COP30, Belém, Brasil, Kamis (14/11/2025).
Forum itu juga menghadirkan Mário Gouvêa dari National Treasury, Brazil dan Dr Wang Yi, dari Chinese Academy of Science, sebagai panelis.
Diah menyatakan bahwa pengalaman Indonesia menunjukkan tata kelola lingkungan dan perdagangan tidak saling bertentangan, melainkan dapat menjadi dua kekuatan yang saling menguatkan untuk menciptakan rantai pasok global yang bebas deforestasi.
“Pertanyaannya selalu sama, bisakah perdagangan dan tata kelola lingkungan berjalan seiring? Jawabannya bisa. Dan Indonesia membuktikannya,” ujar Diah.
Dia menjelaskan bahwa Indonesia dalam tiga tahun terakhir telah memperkuat sistem keberlanjutan nasional seperti ISPO, SVLK, dan National Dashboard for Legal and Risk Verification yang selaras dengan logika penilaian risiko EUDR. Sistem ini memastikan legalitas, keterlacakan, dan verifikasi berbasis geolokasi di seluruh rantai pasok sawit, kayu, dan komoditas lainnya.
Namun Diah mengingatkan bahwa tata kelola berbasis regulasi tidak cukup. “Perdagangan harus diterjemahkan menjadi tanggung jawab bersama. Kolaborasi berbasis data dan bukti terbukti mengurangi mispersepsi antara negara produsen dan konsumen,” katanya.
Ia menekankan urgensi menghubungkan perdagangan dengan pembiayaan. Menurutnya, rantai nilai positif terhadap hutan tidak akan tumbuh tanpa akses pendanaan yang memadai bagi petani kecil.
Untuk itu, Indonesia mendorong pembiayaan berbasis keberlanjutan, seperti sustainability-linked finance, sertifikasi yurisdiksi, serta skema pembiayaan campuran yang membuka akses bagi petani, perempuan, dan koperasi lokal.
“Transisi berkeadilan bukan soal memindahkan risiko ke produsen. Risiko harus dibagi, bukan dipindahkan,” ujarnya.
Diah juga menyoroti pentingnya pembiayaan yang benar-benar mengalir ke tingkat tapak. Ia menegaskan bahwa keberhasilan rantai pasok bebas deforestasi bergantung pada dukungan nyata bagi petani, masyarakat adat, dan koperasi sebagai aktor utama di lapangan.
Dalam paparannya, ia menekankan peran kerja sama Selatan–Selatan. Indonesia bersama Brasil, negara-negara Basin Kongo, dan China kini menjadi penggerak utama dalam membentuk norma perdagangan berkelanjutan global.
“Negara produsen tidak boleh hanya menjadi pengikut aturan, tetapi harus menjadi pembentuk standar. Ini saatnya lanskap-lanskap di Selatan menentukan arah keberlanjutan global,” kata Diah. ***
Ia menutup pernyataan dengan menegaskan bahwa keberhasilan tidak diukur dari jumlah dokumen atau kepatuhan administratif. “Keberhasilan harus diukur dari berapa banyak hutan yang tetap berdiri, berapa banyak mata pencaharian yang menguat, dan seberapa besar kepercayaan yang terbangun antara pihak yang menanam dan pihak yang membeli.” ***




