Ecobiz.asia — Indonesia menegaskan posisinya sebagai pemimpin global dalam aksi iklim dan restorasi ekosistem gambut tropis pada AsiaFlux Conference 2025, forum ilmiah internasional yang mempertemukan ilmuwan, pembuat kebijakan, dan praktisi lingkungan dari 29 negara.
Konferensi yang digelar di Riau pada 22 Oktober 2025 ini menyoroti inovasi ilmiah dan praktik restorasi yang menjadikan Indonesia sebagai pusat pembelajaran restorasi gambut di Asia.
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, restorasi gambut merupakan fondasi penting bagi ketahanan iklim nasional.
“Restorasi gambut bukan sekadar pekerjaan teknis, melainkan fondasi ketahanan iklim nasional. Keberhasilan restorasi lahir ketika ilmu pengetahuan berpadu dengan kearifan lokal, ketika masyarakat bukan hanya penerima manfaat, tetapi pengelola ekosistemnya,” ujar Hanif.
Selama satu dekade terakhir, Indonesia telah merehabilitasi lebih dari 24,6 juta hektare lahan, termasuk 4,16 juta hektare ekosistem gambut yang telah dibasahi kembali.
Pemerintah juga membangun 45 ribu sekat kanal dan menanam kembali berbagai spesies asli seperti jelutung, ramin, dan balangeran.
KLH/BPLH memperkuat basis ilmiah restorasi dengan pendekatan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) serta layanan digital Sistem Informasi Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (SiPPEG) yang memantau kondisi gambut secara real time. Pendekatan ini menggabungkan data ilmiah dan kearifan lokal untuk menciptakan tata kelola yang adaptif dan berkelanjutan.
Selain aspek ekologi, restorasi gambut juga telah berkembang menjadi gerakan kolaboratif nasional melalui program Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG).
Saat ini, sebanyak 1.100 desa berpartisipasi aktif dalam pengelolaan ekosistemnya, dengan peran penting perempuan dan pemuda dalam pengembangan ekonomi hijau seperti madu kelulut, kerajinan serat alam, dan ekowisata berkelanjutan.
Langkah tersebut selaras dengan RPJMN 2025–2029 dan target FOLU Net Sink 2030, yang menempatkan restorasi gambut sebagai pilar utama penguatan ketahanan iklim, sosial, dan ekonomi nasional.
Ketua Komite Penyelenggara AsiaFlux Conference 2025, Chandra S. Desmukh, mengatakan forum ini bukan sekadar ajang ilmiah, melainkan wadah kolaborasi lintas sektor.
“AsiaFlux bukan hanya tentang menara pemantau flux, tetapi tentang kolaborasi para ilmuwan, pembuat kebijakan, dan masyarakat. Tahun ini kami menyambut lebih dari 300 peserta dari 29 negara, mencerminkan semangat bersama dalam mendorong pengelolaan lahan berkelanjutan dan mendukung target FOLU Net Sink 2030 Indonesia,” ujarnya. ***





