Ecobiz.asia — PLN menegaskan bahwa biomassa menjadi salah satu strategi utama dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 karena dinilai sebagai opsi penurunan emisi paling murah dibandingkan energi terbarukan lain.
Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PLN, Evy Haryadi, mengatakan biaya tambahan untuk co-firing relatif rendah dibandingkan pemasangan PLTS yang membutuhkan baterai penyimpanan.
“Tambahan biayanya hanya sekitar 0,66 sen, sementara PLTS plus baterai bisa di atas 10 sen,” kata Evy dalam seminar “Biomassa: Sebagai Alternatif Bahan Bakar Pembangkit Tenaga Listrik” yang digelar HAKIT di Jakarta, Kamis (20/11/2025).
RUPTL terbaru menargetkan pembangunan pembangkit baru 69,5 GW, termasuk 0,9 GW bioenergi. PLN telah menerapkan co-firing di 47 PLTU hingga 2024 dan menargetkan 52 PLTU pada 2025. Namun pemanfaatan biomassa masih jauh dari kebutuhan.
“Realisasi 2024 baru sekitar 340 ribu ton biomassa atau 0,06 persen,” ujarnya.
PLN memperkirakan kebutuhan biomassa meningkat dari 4 juta ton pada 2029 menjadi 8 juta ton pada 2034. Sementara itu, pasokan dalam negeri terbatas karena produsen cenderung mengekspor ke Jepang dan Korea yang menawarkan harga lebih tinggi.
Evy menjelaskan dua tantangan besar biomassa: harga yang harus kompetitif dan masalah logistik. Pengiriman biomassa dengan truk ke PLTU dinilai tidak efisien. “Untuk energi kalor setara batu bara, bisa dibayangkan kemacetan berkilo-kilometer,” katanya.
Faktor teknis lain seperti penyimpanan juga perlu diperhatikan karena kelembapan udara dapat menurunkan nilai kalor biomassa.
Ia menambahkan, pengembangan biomassa juga harus mempertimbangkan pendanaan, regulasi, serta skema transisi berkeadilan bagi pelaku rantai pasok batu bara.
“Mereka yang sebelumnya terikat dalam rantai pasok batu bara akan kehilangan pendapatan jika beralih ke biomassa. Ini harus dipikirkan bersama,” kata Evy. *** (Putra Rama Febrian)




