Ecobiz.asia — Masyarakat adat kini melihat peluang lebih besar untuk memperoleh pendanaan guna mendukung pengelolaan hutan setelah terbitnya Peraturan Presiden No. 110/2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Skema baru ini membuka akses lebih luas bagi komunitas adat untuk mendapatkan manfaat dari jasa lingkungan yang selama ini mereka jaga secara turun-temurun.
Demikian mengemuka pada diskusi FOLU Talks: Dari Hutan Sosial Menuju Ekonomi Karbon Berkeadilan, Rabu (19/11/2025).
Wawan Riswanto dari Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Pasir Eurih mengatakan bahwa praktik pengelolaan hutan adat yang diwariskan leluhur telah terbukti menjaga kelestarian alam sekaligus meningkatkan kesejahteraan warga. “Kasepuhan atau nenek buyut kami telah mewariskan konsep luar biasa dalam pengelolaan hutan,” ujarnya.
Wawan menjelaskan bahwa hutan adat Kasepuhan Pasir Eurih terbagi dalam empat zona: Hutan Titipan untuk kebutuhan dasar warga, Hutan Tutupan sebagai kawasan resapan air yang berisi pohon besar seperti picung dan damar, Hutan Cawisan, serta Hutan Garapan yang dapat dikelola untuk pangan dan tanaman produktif.
“Pohon-pohon besar ini menjadi bank karbon alami, asalkan tidak ditebang atau dibakar,” kata Wawan.
Pengakuan pemerintah terhadap hutan adat membuat masyarakat semakin leluasa mengelola lahan mereka tanpa konflik tenurial. Pemanfaatan tanaman produktif seperti kopi dan picung turut membuka peluang ekonomi baru, di samping manfaat ekologis. Masyarakat juga mempertahankan pengetahuan pengobatan tradisional dan melakukan ronda leuweung atau patroli hutan tanpa bayaran sebagai bentuk tanggung jawab kolektif.
“Ketika berbicara tentang hutan, itu bukan hanya tentang alam, tapi juga kehidupan,” tegas Wawan.
Pendanaan karbon
Pada sesi yang sama, Wakil Direktur KKI Warsi, Rainal Daus, memaparkan keberhasilan skema pendanaan ekologis berbasis komunitas melalui Community Carbon Bujang Raba di Jambi. Inisiatif ini dijalankan oleh lima hutan desa yang menjaga 7.291 hektare kawasan hutan sejak 2012.
Inisiatif tersebut memanfaatkan skema imbal jasa karbon sukarela untuk memberikan insentif kepada masyarakat penjaga hutan. Dana yang diterima warga dipakai untuk beasiswa, patroli hutan, penguatan kelembagaan, penanaman kembali, serta pemberdayaan perempuan dan generasi muda.
Rainal menjelaskan bahwa masyarakat diberdayakan untuk memahami proses proyek karbon, mulai dari penyusunan PIN (Project Identification Note), penyusunan dokumen desain proyek (PDD), hingga verifikasi oleh pihak independen. Mereka bahkan dilatih melakukan pengukuran karbon sederhana melalui pemetaan, pengukuran diameter pohon, dan pemantauan tutupan hutan.
Menurutnya, inisiatif Bujang Raba berhasil menekan laju deforestasi jauh di bawah proyeksi awal—bahkan mencapai 0 persen deforestasi pada beberapa tahun di lima desa tersebut.
Perpres karbon
Sementara itu, Peneliti Ahli Utama BRIN, I Wayan Susi Dharmawan, menegaskan bahwa pengukuran karbon bukan hal baru bagi masyarakat desa. Banyak aktivitas seperti mengukur diameter pohon sebenarnya sudah menjadi praktik umum.
Ia menjelaskan bahwa sejak 2011, Indonesia telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) pengukuran cadangan karbon yang dirancang agar bisa diterapkan oleh masyarakat. “Secara praktikal, masyarakat bisa melakukan pengukuran sendiri. Tinggal kualitas datanya dikontrol oleh pendamping,” ujarnya.
Wayan juga menyebut Perpres 110/2025 memberi ruang lebih luas bagi penggunaan berbagai metodologi internasional dalam proyek karbon, sekaligus membuka peluang bagi komunitas untuk mengajukan metodologi baru yang lebih sesuai kondisi lokal.
Dengan adanya skema nilai ekonomi karbon dan pengakuan hutan adat yang terus meluas, masyarakat adat dan kelompok perhutanan sosial kini berada pada posisi lebih strategis untuk mengakses pendanaan iklim. Hal ini diharapkan dapat memperkuat perlindungan hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan komunitas penjaganya. ***




