Ecobiz.asia – Kementerian Kehutanan (Kemenhut) memperkuat sinergi antara akademisi dan aparat penegak hukum dengan menggelar Forum Ahli Penegakan Hukum Kehutanan.
Forum ini menandai langkah strategis reformasi kelembagaan pasca pemisahan urusan lingkungan hidup dan kehutanan, dengan fokus pada penegakan hukum yang tegas dan berbasis sains.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kemenhut, Dwi Januanto Nugroho, mewakili Menteri Kehutanan, menegaskan bahwa penegakan hukum harus menjadi instrumen untuk memperkuat tata kelola dan daya saing nasional.
“Penegakan hukum kehutanan harus scientific-based dan technology-support. Tugas kita bukan hanya menghukum, tetapi memulihkan hutan dan mengembalikan keadilan bagi masyarakat serta negara,” ujarnya saat pembukaan Forum di Bali, Rabu (5/11/2025).
Forum ini menghasilkan dua keluaran utama. Pertama, rumusan kebutuhan keterangan ahli untuk memperkuat pembuktian perkara kehutanan, termasuk kriteria kerusakan hutan, valuasi kerugian, serta protokol pemulihan fungsi hutan. Kedua, penyusunan daftar pakar lintas disiplin yang siap mendukung perkara pidana, perdata, dan administrasi kehutanan.
Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, Prof. Yodi Martono Wahyunadi, mengapresiasi inisiatif forum ini.
“Forum ini sangat bermanfaat karena memudahkan hakim menemukan ahli dalam penyelesaian perkara kehutanan,” katanya.
Dwi menambahkan, forum juga menjadi akselerator penyusunan dua rancangan peraturan menteri prioritas, yaitu tentang Pengawasan Kehutanan dan Pengenaan Sanksi Administratif, serta Penyelesaian Sengketa Kehutanan. Keduanya disiapkan dengan kajian akademik untuk memastikan prinsip polluter pays dan pemulihan hutan berjalan seiring.
Diskusi dalam forum mencakup arah kebijakan penegakan hukum, kriteria kerusakan hutan, serta jaminan perlindungan hukum bagi ahli. Peserta berasal dari Mahkamah Agung, jajaran Ditjen Gakkum Kehutanan, perwakilan Kejaksaan Agung, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil seperti ICEL, WWF, WALHI, dan WCS.
“Negara wajib menjamin kebebasan akademik dan melindungi para ahli dari intimidasi. Ahli harus mampu menerjemahkan bukti ilmiah menjadi bukti hukum yang meyakinkan hakim,” tegas Dwi.
Forum yang berlangsung pada 5-7 November 20205 ini diharapkan menjadi simpul permanen pertukaran pengetahuan berbasis bukti, yang krusial untuk mencapai target FOLU Net Sink 2030 dan memastikan setiap kerusakan hutan ditindak, dipulihkan, serta tidak terulang. ***




