Ecobiz.asia – Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq menyoroti kualitas air sungai Cipinang yang terletak di belakang kantor Kementerian Lingkungan Hidup.
Hanif meminta agar jajarannya meningkatkan kualitas air Sungai Cipinang yang saat ini sangat buruk. Pemulihan kualitas air Sungai Cipinang akan menjadi contoh dalam pengelolaan kualitas air sungai-sungai lain di Indonesia.
Berbicara pada saat pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya KLH/BPLH, di Jakarta, Senin (6/1/2025). Menteri Hanif mengungkapkan bahwa sebagian besar Indeks Kualitas Air Sungai di Indonesia saat ini relatif kurang baik.
“Kondisi ini ditunjukkan dengan status mutu air yang memenuhi kelas 2 masih di bawah 50 persen,” katanya. Mutu air kelas 2 berarti dapat digunakan untuk sarana rekreasi air, pembudayaan ikan dan peternakan.
Lebih lanjut Hanif mengatakan menegaskan tentang pentingnya penetapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Air (RPPMA) sungai, terutama pada sungai-sungai prioritas di berbagai penjuru Indonesia. Saat ini belum ada satupun dokumen RPPMA Sungai yang sudah ditetapkan.
Menurut Menteri Hanif, perbaikan mutu air sungai dapat dilakukan dengan berkolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat.
“Harapan kita, dengan penetapan RPPMA, melibatkan semua pihak dalam pemulihan sungai secara bertahap. Ini bisa dilakukan bersama-sama, berkolaborasi,” tegasnya.
Sebagai percontohan, Hanif meminta agar jajarannya melakukan pemulihan Sungai Cipinang. Dia bahkan menegaskan agar upaya peningkatan mutu air Sungai Cipinang selesai dalam waktu enam bulan.
“Kita mesti memberi contoh dengan kongkret. Di belakang kantor kita ada Sungai Cipinang yang mutunya sudah sangat buruk. Saya minta pejabat yang dilantik pada hari ini mampu menyelesaikan cipinang ini dalam enam bulan,” tegasnya.
Hanif mengatakan pemulihan mutu air Sungai Cipinang harus menjadi legacy dari KLH.
Pada kesempatan itu, Hanif juga mengatakan buruknya kualitas air mengakibatkan eksploitasi air tanah secara masif, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan muka tanah seperti di Pulau Jawa yang mengalami penurunan 10 cm per tahun.
Secara khusus hal itu juga terjadi di Jakarta, yang mengalami penurunan 20-30 cm per tahun dan memiliki potensi tenggelam dalam beberapa periode ke depan.
“Kita benar-benar harus mengembalikan peradaban sungai kita yang sudah lama kita tinggalkan, kita telah menjadikan sungai kita sebagai belakang rumah kita, sebagai tempat pembuangan sampah kita. Sementara di sisi lain kita dengan asik masuk kemudian mengeksploitasi air tanah dengan sebesar-besarnya,” kata Hanif Faisol Nurofiq. ***