Ecobiz.asia — Menjelang Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Brasil, Indonesia menegaskan komitmennya untuk memperkuat skema perdagangan karbon internasional sesuai Pasal 6.4 Perjanjian Paris, sekaligus menuntut realisasi pendanaan iklim dari negara-negara maju yang hingga kini belum terpenuhi.
Hal itu ditegaskan Wakil Menteri Lingkungan Hidup/Wakil Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Diaz Hendropriyono, dalam Rapat Sosialisasi Hasil Perundingan SB 62 UNFCCC bersama kementerian/lembaga terkait di Jakarta, Senin (14/7/2025).
Pertemuan ini menjadi langkah awal merumuskan posisi Indonesia untuk negosiasi COP30 yang akan digelar November 2025 di Belem, Brasil.
Baca juga: Pajak Karbon Dinilai Bisa Bikin Perdagangan Karbon Nasional Menggeliat
“Janji pendanaan iklim sebesar 100 miliar dolar AS per tahun dari negara maju sejak 2020 masih jauh dari realisasi. Hingga 2022, yang benar-benar tersedia baru sekitar 67 miliar dolar AS. Ini bukan sekadar angka, tapi bukti bahwa komitmen terhadap keadilan iklim masih timpang,” kata Diaz.
Dalam forum tersebut, Diaz juga menyoroti pentingnya memperjuangkan skema perdagangan karbon internasional yang adil. Ia menyebut Indonesia tetap berkomitmen memperjuangkan kepentingan negara berkembang dalam mekanisme tersebut.
“Walaupun sudah ada share of proceed dalam Artikel 6.4 yang menjelaskan soal pembagian keuntungan skema perdagangan karbon kepada negara berkembang, Indonesia masih bertekad mendorong penambahan kontribusi pendanaan dari negara maju,” tegas Wamen Diaz.
Selain memperkuat implementasi Pasal 6.4, Indonesia juga tengah menyusun National Adaptation Plan (NAP), serta terus mendorong penguatan mekanisme loss and damage sebagai bagian dari strategi nasional menghadapi risiko bencana iklim.
SB 62 sendiri, yang berlangsung di Bonn, Jerman, 16–26 Juni 2025, membahas berbagai isu teknis melalui dua badan utama: Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation (SBI).
Indonesia terlibat dalam 12 agenda prioritas yang mencakup 19 kelompok kerja, termasuk isu ketahanan pangan, kelautan, gender, masyarakat adat, dan peningkatan kapasitas negara berkembang.
Diaz juga menekankan pentingnya kehadiran aktif semua kementerian/lembaga dalam forum internasional, sebagai satu suara Indonesia.
“Yang kita perjuangkan bukan sekadar posisi KLH, tapi posisi Indonesia,” tegasnya.
Diaz menegaskan, KLH/BPLH sebagai National Focal Point UNFCCC akan terus mengoordinasikan proses negosiasi menjelang COP30 untuk memastikan posisi Indonesia tetap kuat dan strategis di panggung iklim global. ***