Ecobiz.asia — Pasar karbon sukarela (voluntary carbon market/VCM) sektor kehutanan dinilai memiliki peran penting dalam mendukung pembiayaan aksi iklim.
Namun, tantangan integritas dan kebutuhan metodologi yang kuat masih menjadi pekerjaan rumah utama.
Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), Moekti Handajani Soejachmoen menjelaskan VCM memungkinkan pelaku usaha, individu, atau lembaga membeli kredit karbon secara sukarela untuk mengimbangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang mereka hasilkan.
Baca juga: Biochar Berpotensi Hasilkan Kredit Karbon, Wamen LH Dorong Ekspansi ke Pasar Internasional
Kredit ini diperoleh dari proyek-proyek berbasis kehutanan seperti konservasi hutan, reforestasi, aforestasi, dan penghindaran deforestasi (avoided deforestation), dan setiap unitnya mewakili satu ton CO₂ ekuivalen.
“Meski sukarela, permintaan terhadap kredit dari VCM meningkat karena dorongan dari investor dan konsumen yang makin memperhatikan jejak karbon produk serta komitmen perusahaan terhadap net zero emission,” jelas Kuki, panggilan Moekti Handajani pada diskusi FOLU Talks, Rabu (9/7/2025).
Meski demikian menurut Kuki, data global menunjukkan masih banyak kredit karbon yang belum terserap pasar.
Kuki menyebut hal ini terjadi karena berbagai faktor, termasuk dinamika regulasi internasional dan kekhawatiran atas kualitas dan akuntabilitas unit karbon yang ditawarkan.
“Perpindahan dari rezim Protokol Kyoto ke Persetujuan Paris membawa perubahan signifikan. Jika dulu tak ada kewajiban akuntabilitas di negara berkembang, kini pelaporan dan akuntansi karbon menjadi tuntutan,” ujarnya.
Baca juga: Menteri LH Tegaskan Pentingnya Pasar Karbon yang Berkeadilan dan Dukung Kesejahteraan Lokal
Kuki menambahkan bahwa perusahaan yang ingin menjadikan kredit VCM sebagai bagian dari pemenuhan target Nationally Determined Contribution (NDC) negaranya memerlukan otorisasi dari negara asal unit, serta harus melakukan penyesuaian akuntansi (corresponding adjustment). Perubahan ini mencerminkan pergeseran global ke arah “high integrity carbon market”.
Dalam konteks kehutanan, Kuki menyoroti pentingnya penguatan metodologi nasional agar proyek-proyek VCM Indonesia dapat memenuhi standar kredibilitas internasional.
“Proyek kehutanan bukan hanya menyerap karbon, tapi juga membawa manfaat sosial dan ekologi seperti perlindungan keanekaragaman hayati dan penguatan peran masyarakat adat,” ujarnya.
Ia juga mencatat bahwa tren harga dan permintaan kredit karbon berbeda antar jenis proyek. Misalnya, proyek afforestation, reforestation, and revegetation (ARR) masih memiliki nilai ekonomi tinggi, sementara proyek berbasis REDD+ menghadapi tekanan harga akibat isu integritas.
“Indonesia punya peluang besar di sektor kehutanan, tapi kita harus bersiap dengan sistem dan metodologi yang kuat agar tidak hanya jadi penyedia kredit, tetapi juga pemain yang dihormati dalam pasar karbon global,” tandasnya. ***