Ecobiz.asia – Indonesia memiliki potensi lebih dari 201 juta ton kredit karbon per tahun yang bersumber dari sektor kehutanan, seiring dengan dibukanya perdagangan karbon internasional dan pengakuan standar nasional melalui mutual recognition agreement (MRA) dengan lembaga global seperti Gold Standard.
“Pembukaan perdagangan karbon internasional tahun ini menjadi momen bersejarah. Dengan adanya MRA, potensi lebih dari 201 juta ton karbon kredit per tahun dari sektor kehutanan siap dimanfaatkan,” ujar CEO Fairtamos, Natalia Rialucki, saat membuka diskusi AtmosTalks bertema “Prospect and Development of Nature-Based Carbon Project in Indonesia”, di Jakarta, Selasa malam (24/6/2025).
Ia menjelaskan bahwa pasar karbon berbasis alam kini menjadi salah satu mekanisme strategis untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Menurutnya, kemajuan regulasi dan teknologi menjadi kunci akselerasi proyek-proyek karbon yang berkualitas.
“Pasar karbon belum sempurna, tetapi inovasi teknologi memungkinkan transparansi dan efisiensi dalam pengembangan proyek berskala besar,” katanya.
Baca juga: Proyek Karbon Negara Berkembang Terkendala Regulasi dan Standar Rating yang Tak Seragam
Melalui platform teknologi Atmos Tech, Fairtamos mengklaim telah membantu lebih dari 500 pemilik konsesi dari berbagai sektor di Asia Tenggara—termasuk kehutanan sosial dan lembaga nirlaba—untuk melakukan uji kelayakan proyek karbon di area seluas lebih dari 30 juta hektare.
Selain itu, Natalia menyoroti pentingnya dukungan dari sisi pembeli dan investor. “Meskipun regulasi dan proyek sudah siap, pasar ini tidak akan berjalan tanpa adanya permintaan nyata dari pembeli dan investor,” ujarnya.
Sebagai bagian dari penguatan ekosistem investasi karbon, Fairtamos menggandeng Indonesia Investment Authority (INA) sebagai mitra utama dalam acara AtmosTalks. INA merupakan lembaga pengelola kekayaan negara (sovereign wealth fund) yang dinilai strategis dalam mendorong investasi hijau di Indonesia.
AtmosTalks 2025 turut dihadiri berbagai pemangku kepentingan, di antaranya perwakilan dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta pelaku usaha dan masyarakat sipil.
Baca juga: Solusi Berbasis Alam dan Proyek Karbon, Strategi Kunci Indonesia Hadapi Krisis Iklim
Sementara itu Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Diah Suradiredja, menekankan bahwa tren pasar karbon global ke depan akan lebih mengutamakan kualitas proyek ketimbang sekadar kuantitas kredit karbon yang dihasilkan.
Hal ini menjadi perhatian penting bagi pelaku usaha kehutanan yang ingin memasuki pasar karbon secara serius dan berkelanjutan.
“Ke depan, investor dan pembeli karbon tidak hanya melihat angka, tapi integritas dari proses, dampak sosial, serta keandalan data dan teknologinya,” ujar Diah.
Baca juga: ICVCM Tetapkan Program ERS sebagai Standar Karbon Berintegritas Tinggi
Diah menjadikan pencapaian PT Rimba Makmur Utama (RMU) sebagai contoh keberhasilan pengelolaan proyek karbon berbasis konsesi hutan yang bisa menjadi benchmark nasional. RMU mengelola konsesi seluas 149.000 hektare dengan pendekatan konservasi, keanekaragaman hayati, serta pembangunan berbasis masyarakat.
“RMU menunjukkan lima hal penting: komitmen jangka panjang, kolaborasi awal dengan masyarakat, pembentukan green belt, keselarasan dengan standar internasional, dan penciptaan kepercayaan sosial yang tinggi,” jelas Diah.
Ia juga menyoroti urgensi penyusunan cap atau batas emisi untuk setiap unit usaha, baik di sektor manufaktur maupun kehutanan, sebagai dasar implementasi skema cap and trade.
“Tanpa kejelasan soal cap, kita tidak bisa tahu siapa punya surplus atau defisit emisi,” katanya.
Selain itu, Diah menekankan pentingnya sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) yang akurat dan konsisten, serta penggunaan data dan teknologi yang andal. Ia menyebut bahwa kepercayaan pasar terhadap proyek karbon sangat ditentukan oleh kualitas teknis dan transparansi informasi.
Baca juga: Shell Minati Kredit Karbon Hutan Indonesia
“Dari sisi pelaku usaha, kita siap. Ada 52 PBPH yang tengah dalam proses dan siap menunggu regulasi. Tapi semuanya bergantung pada kerangka aturan yang jelas,” ungkapnya.
Ia mengapresiasi langkah pemerintah dalam menyusun kebijakan yang lebih pasti terkait pasar karbon dan berharap hasil pertemuan terakhir antara pemangku kepentingan bisa mempercepat penyelesaian regulasi.
“Selama ini pelaku usaha hanya bisa menebak-nebak arah kebijakan. Mudah-mudahan ini menjadi titik balik dan kita bisa melangkah bersama lebih cepat,” pungkas Diah. ***