Ecobiz.asia – PT PLN (Persero) melalui anak usahanya PLN Energy Management Indonesia (PLN EMI) mendorong pemanfaatan kredit karbon sebagai instrumen strategis untuk mendukung peningkatan bauran energi terbarukan (EBT) di Indonesia.
Hal ini disampaikan Division Manager PLN EMI, Hermenegildus Bramantyo Agung Suprapto, dalam acara ZE Talks yang diselenggarakan secara daring oleh Zona EBT, Senin (2/6/2025).
Menurut Bramantyo, melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, PLN menargetkan peningkatan signifikan kapasitas pembangkit EBT hingga 70 GW, dengan bauran EBT nasional mencapai 34,3 persen pada 2034.
Baca juga: PLN dan Pemkab Gayo Lues Kerja Sama Kembangkan PLTMH, Tiga Lokasi Jadi Prioritas
Dari kapasitas tersebut, peningkatan besar terjadi pada pembangkit tenaga surya dan angin yang naik dari 5 GW menjadi 27 GW.
“Untuk mewujudkan target ambisius ini tentu dibutuhkan investasi besar. Di sinilah peran penting dari instrumen karbon seperti Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) dan Renewable Energy Certificate (REC) untuk mendukung pendanaan pembangunan EBT,” kata Bramantyo.
PLN saat ini memanfaatkan pendapatan dari atribut lingkungan listrik seperti SPE dan REC untuk kembali diinvestasikan dalam pembangunan pembangkit EBT.
Strategi ini disebut sejalan dengan semangat perusahaan untuk menjadikan SPE dan REC bukan sekadar sumber pendapatan baru, tetapi sebagai bagian dari upaya meningkatkan kapasitas dan penggunaan energi bersih.
Lebih lanjut, Hermenegildus menekankan pentingnya pengembangan pasar karbon domestik dan internasional yang kredibel.
Ia mengungkapkan, sebagai sektor pertama yang terkena regulasi emission cap melalui skema PTBAE-PU (Perdagangan Karbon di Pembangkit Tenaga Listrik), PLN tengah membangun strategi agar pasar karbon di Indonesia tumbuh dengan kualitas tinggi.
“Kami tidak ingin terjebak pada pasar karbon berkualitas rendah. PLN telah menjadi pelopor penerbitan kredit karbon dengan standar internasional seperti Verra dan Gold Standard, dan kami dorong agar instrumen ini dapat diperdagangkan di pasar dalam negeri maupun global,” ujarnya.
Sejak Januari 2025, PLN bersama Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) telah memulai perdagangan SPE internasional.
Selain itu, PLN juga mengembangkan platform digital Climate Click sebagai basis data dan wadah transaksi karbon.
Baca juga: Hijaukan Ekosistem, Kuatkan Ekonomi: PLN NP Dukung Hutan Produksi di Hulu Ciliwung
Dalam upaya diversifikasi, PLN mengembangkan berbagai jenis SPE dan REC serta memperluas sumber pasokan dari pembangkit mikrohidro, panas bumi, dan hidro besar.
Hingga kini, PLN telah menerbitkan enam SPE dari pembangkit berbasis efisiensi energi dan satu dari EBT, serta sedang memproses tiga penerbitan baru dari PLTA dan PLTS.
Permintaan REC domestik juga terus meningkat. Pada 2024, permintaan REC diperkirakan setara dengan 5 hingga 6 TWh listrik atau sekitar 4 juta ton CO₂, jauh melampaui volume transaksi SPE yang belum mencapai 300.000 ton CO₂.
Ke depan, PLN juga tengah menyiapkan skema inovatif seperti virtual PPA dan proyek berbasis carbon capture and storage (CCS). Meski metodologi perhitungan karbon untuk CCS belum sepenuhnya tersedia, PLN siap mengembangkan teknologinya untuk mengantisipasi kesiapan regulasi.
“Peran atribut lingkungan tidak hanya penting untuk menggalang dana, tapi juga untuk meningkatkan keekonomian proyek EBT sehingga lebih menarik bagi investor,” tutup Bramantyo. ***