Ecobiz.asia – PwC Indonesia menilai penerapan pajak karbon (carbon tax) dapat menjadi stimulus penting dalam memacu pasar karbon domestik.
Instrumen ini dinilai strategis untuk mendorong pelaku usaha beralih ke perdagangan karbon sebagai alternatif penghindaran denda emisi yang tinggi.
Hal tersebut disampaikan Yuliana Sudjono, Partner & Sustainability Leader PwC Indonesia, dalam diskusi publik bertajuk Unlocking Potential: Progress After MRA in Indonesia Carbon Market Ecosystem di Jakarta, Kamis (22/5/2025).
Baca juga: Jepang Dorong Standarisasi Karbon Biru ASEAN, Soroti Inisiatif Indonesia
“Pajak karbon yang cukup menantang akan menggerakkan pasar karbon. Perusahaan akan lebih memilih membeli carbon credit dibandingkan harus membayar pajak karbon,” ujarnya.
Yuliana menambahkan bahwa peran pemerintah sangat krusial dalam memperluas cakupan pajak karbon. Saat ini, skema pajak karbon yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 13 masih terbatas pada sektor pembangkit listrik (power plant) berbasis batubara.
“Peran pemerintah sangat kritikal untuk menentukan regulasi yang bisa mendorong permintaan terhadap kredit karbon, baik melalui pajak karbon maupun penetapan kuota emisi lintas sektor,” jelasnya.
Berdasarkan data IDX Carbon, hingga Januari 2025 total nilai transaksi di bursa karbon Indonesia mencapai Rp58,86 miliar dengan volume sebesar 1,13 juta ton CO2 ekuivalen. Sejak diluncurkan pada September 2023, total perdagangan unit karbon mencapai 1,040 juta ton CO2 ekuivalen dengan nilai Rp55,24 miliar.
Dalam kesempatan tersebut, Yuliana juga mengungkapkan bahwa PwC Indonesia bersama Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA) telah meluncurkan buku putih yang memetakan peta jalan pengembangan pasar karbon nasional.
Baca juga: Implementasi Program Dekarbonisasi, Kilang Pertamina Teken Perjanjian Pasokan Gas
Berdasarkan laporan itu, Indonesia memiliki potensi menghasilkan nilai pasar karbon hingga 16,7 miliar dolar AS per tahun hingga 2030.
Namun demikian, ia menilai sejumlah tantangan masih menghambat perkembangan pasar karbon nasional, seperti regulasi yang belum konsisten, permintaan pasar domestik yang masih rendah, serta ketidakpastian mekanisme pencatatan akuntansi.
“Untuk menggerakkan pasar, dibutuhkan kolaborasi lintas pemangku kepentingan, penyempurnaan regulasi, serta peningkatan transparansi dan integritas proyek karbon yang ditawarkan,” ujarnya. ***