Ecobiz.asia – Indonesia menegaskan peran strategisnya di panggung global dalam menjawab krisis iklim melalui kebijakan tata kelola hutan yang terintegrasi dan berbasis masyarakat.
Komitmen itu ditegaskan dalam Forum Global The International Model Forest Network (IMFN) 2025 yang bertajuk “Forest, People, Planet: Scaling Local Solutions for Global Impact” yang berlangsung di Ottawa, Kanada, Selasa (27/5/2025). Forum tersebut mempertemukan para pengambil kebijakan dan praktisi kehutanan dari berbagai negara di seluruh dunia.
Dalam sesi panel The Canopy Session bertajuk “National Policy Coherence”, Agus Justianto, Penasihat Senior Tim Kerja Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, memaparkan langkah-langkah konkret Indonesia dalam menyelaraskan kebijakan kehutanan nasional dengan komitmen internasional, sembari memberdayakan masyarakat lokal sebagai aktor utama.
Baca juga: Dari Kebijakan ke Aksi Nyata: Melihat Operasionalisasi FOLU Net Sink di Lapangan
“Indonesia berkomitmen kuat untuk mencapai FOLU Net Sink 2030, di mana sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya akan menyerap emisi karbon lebih besar atau setara dengan yang dilepaskan pada tahun 2030,” ungkap Agus.
Kebijakan ini sejalan dengan target yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia di bawah Perjanjian Paris.
Langkah ini utamanya dilakukan melalui penurunan deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat melalui Perhutanan Sosial dan rehabilitasi hutan, penerapan sistem verifikasi legalitas dan kelestarian (SVLK), konservasi keragaman hayati.
Dalam mempromosikan produk kayu yang berkelanjutan, Agus memaparkan,
Indonesia menjadi negara pertama yang mengimplementasikan dan menerbitkan lisensi FLEGT untuk ekspor produk kayu ke Uni Eropa, menunjukkan keberhasilan SVLK secara nasional.
Di samping itu, Indonesia aktif melindungi keanekaragaman hayati sebagai salah satu negara megadiverse melalui restorasi ekosistem, pengelolaan kawasan konservasi, dan penerapan konvensi internasional seperti CITES.
Lebih jauh, Agus menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mendukung target-target lingkungan dan iklim. Program Perhutanan Sosial memberi hak legal kepada komunitas lokal dan masyarakat adat untuk mengelola hutan secara berkelanjutan, sekaligus menekan pembalakan liar dan degradasi lahan.
“Dengan keterlibatan masyarakat, kita tidak hanya menekan deforestasi, tapi juga membangun ketahanan sosial-ekologis,” katanya.
Masyarakat juga terlibat aktif dalam restorasi gambut, konservasi biodiversitas melalui kearifan lokal, hingga pengelolaan sampah komunitas yang mengurangi emisi dan pencemaran lingkungan.
Pemerintah mendukung inisiatif ini melalui kerangka kebijakan, pendanaan trust fund seperti yang dikelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup, pelatihan teknis, dan kemitraan multipihak.
Inisiatif pembiayaan lainnya pun sedang dikembangkan untuk menyalurkan langsung kepada masyarakat adat dan lokal.
Model tata kelola hutan berbasis masyarakat ini, lanjut Agus, tidak hanya menginspirasi kebijakan nasional seperti pengakuan hutan adat melalui putusan Mahkamah Konstitusi 2013 dan rancangan UU Masyarakat Adat, tetapi juga memberi pengaruh pada kebijakan global.
“Pengalaman Indonesia dalam REDD+, SVLK, dan mekanisme perdagangan karbon memberi pembelajaran penting dalam menyusun kerangka kerja global yang adil dan inklusif,” jelasnya.
Agus menegaskan bahwa komunitas lokal bertindak sebagai laboratorium hidup yang menguji berbagai pendekatan pengelolaan hutan dan adaptasi iklim. Pelibatan mereka dalam forum internasional, seperti COP UNFCCC dan CBD, turut mendorong pengakuan hak-hak masyarakat adat dan kontribusinya dalam tata kelola lingkungan global.
Dengan mengedepankan partisipasi akar rumput dan pengetahuan lokal, Indonesia menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan kehutanan dan iklim memerlukan integrasi yang harmonis antara pendekatan top-down dan bottom-up.
“Kesuksesan Indonesia dalam mengelola hutan secara berkelanjutan bukan hanya pencapaian nasional, tapi juga kontribusi bagi dunia,” pungkas Agus. ***