Ecobiz.asia – Pemerintah Indonesia secara resmi menyampaikan dokumen Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) kepada Sekretariat UNFCCC sebagai wujud kelanjutan komitmen nasional dalam pengendalian perubahan iklim.
Dokumen ini menandai pergeseran penting dari pendekatan berbasis business as usual (BAU) menuju target absolut emisi gas rumah kaca (GRK) dengan tahun acuan 2019.
Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup yang juga National Focal Point Indonesia untuk UNFCCC Ary Sudijanto dalam surat penyerahan kepada Sekretaris Eksekutif UNFCCC Simon Stiell tertanggal 23 Oktober 2025, menyatakan dokumen Second NDC mencerminkan peningkatan ambisi dan komitmen berkelanjutan Indonesia terhadap upaya global dalam menghadapi perubahan iklim.
“Dokumen ini memuat informasi terukur mengenai titik acuan, kerangka waktu, dan pendekatan implementasi, serta langkah-langkah yang diperkuat untuk memastikan transparansi, inklusivitas, dan keadilan dengan mempertimbangkan kondisi nasional,” demikian tulis Ary dalam suratnya seperti dibaca ecobiz.asia, Senin (28/10/2025).
Second NDC tetap mempertahankan tingkat ambisi pengurangan emisi sebesar 31,89 persen tanpa syarat dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030, namun kini disusun dengan metodologi baru yang lebih transparan dan terukur.
Pemerintah menargetkan puncak emisi terjadi pada 2030 dengan kisaran 1,34–1,49 miliar ton CO₂e, sebelum menurun secara bertahap untuk mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.
Dokumen ini disusun selaras dengan visi pembangunan jangka panjang Indonesia—RPJPN 2025–2045 dan Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR 2050)—serta menjadi bagian dari implementasi Asta Cita dalam RPJMN 2025–2029.
Beberapa regulasi kunci turut memperkuat pelaksanaannya, antara lain Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2023 tentang konservasi energi, Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang percepatan energi terbarukan, serta Perpres No. 110 Tahun 2025 tentang nilai ekonomi karbon.
Sektor kehutanan dan lahan (FOLU) tetap menjadi tulang punggung mitigasi melalui target FOLU Net Sink 2030, restorasi gambut seluas 2 juta hektare, dan rehabilitasi lahan 8,3 juta hektare.
Sementara itu, sektor energi diarahkan pada bauran energi baru terbarukan 19–23 persen pada 2030 dan 70 persen pada 2060.
Second NDC juga menyoroti integrasi antara mitigasi dan adaptasi, termasuk melalui Program Kampung Iklim (ProKlim), penguatan sistem registri nasional (SRN) yang terhubung dengan Bursa Efek Indonesia untuk perdagangan karbon, serta penerapan prinsip just transition guna memastikan transisi energi yang adil dan inklusif.
Diperkirakan kebutuhan investasi mencapai sekitar 472,6 miliar dolar AS hingga 2035 untuk mendukung implementasi Second NDC, dengan sebagian pembiayaan berasal dari anggaran nasional dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). ***





