EUDR di Persimpangan: Saatnya Uni Eropa Berani Memihak Petani Kecil dan Keadilan Global

MORE ARTICLES

Oleh: Diah Suradiredja (Pemerhati perdagangan komoditas berkelanjutan)

Ecobiz.asia – EUDR kini berada pada titik paling rapuh sejak pertama kali dirancang. Kebijakan yang semula diagungkan sebagai mahkota ambisi hijau Uni Eropa berubah menjadi sumber kegelisahan. Bukan hanya di negara produsen, tetapi juga di dalam Eropa sendiri. Dalam hitungan minggu, regulasi yang dulu dianggap teknis berubah menjadi debat besar tentang keadilan, kesiapan, dan arah transisi hijau global.

Komisi Eropa tetap berkukuh mempertahankan jadwal implementasi 30 Desember 2025, seakan penundaan berarti hilangnya kredibilitas. Parlemen Eropa bergerak cepat melalui urgent procedure, mencoba menyatukan posisi. Tetapi Dewan Uni Eropa mengambil langkah paling realistis: menunda penerapan EUDR selama satu tahun setelah mengakui bahwa sistem digital, kapasitas administrasi, dan beban kepatuhan belum siap dijalankan.

Penundaan Dewan ini bukan bentuk kelemahan, melainkan pengakuan bahwa transisi hijau tidak bisa dibangun di atas fondasi yang rapuh. Terlebih jika ketidaksiapan itu berisiko menyingkirkan petani kecil, pekebun, perempuan di koperasi desa, komunitas adat, dan jutaan keluarga yang hidup dari komoditas yang kini diatur EUDR.

Eropa untuk pertama kalinya harus bercermin: bisakah hutan dunia dilindungi tanpa menyingkirkan manusia yang hidup di dalamnya? Suara yang sejak awal dikemukakan Indonesia, Malaysia, Brasil, Ghana, dan banyak negara produsen lain kini menggema kembali, kali ini dari dalam Eropa sendiri.

Bukan Lagi Regulasi Teknis, Melainkan Arena Politik

EUDR pada awalnya digambarkan sebagai aturan teknis yang memastikan komoditas bebas deforestasi. Namun perkembangan terbaru menunjukkan bahwa regulasi ini telah melampaui ranah teknis. Ia berubah menjadi pertarungan politik yang mempertanyakan bukan hanya kesiapan sistem, tetapi juga kewajaran dan keadilannya.

Read also:  UMBRA: PR 110/2025 Reinvents Indonesia’s Carbon Market Framework

Pada 19 November 2025, Dewan Uni Eropa mengadopsi mandat negosiasi baru yang menabrak posisi Komisi Eropa. Dewan menyetujui penundaan implementasi satu tahun penuh untuk semua operator hingga 30 Desember 2026, dengan tambahan enam bulan bagi operator mikro dan kecil hingga 30 Juni 2027. Dewan juga menghapus rencana grace period yang diajukan Komisi, memindahkan kewajiban due diligence hanya kepada operator pertama, menghapus kewajiban bagi downstream operators, serta memerintahkan Komisi melakukan simplification review sebelum 30 April 2026.

Di sisi lain, Komisi Eropa masih mempertahankan tanggal implementasi 30 Desember 2025 dengan “masa toleransi” enam bulan. Perbedaan posisi tiga lembaga—Komisi, Parlemen, dan Dewan—menunjukkan bahwa EUDR tidak lagi berada di ranah teknokratis. Ia telah menjadi ujian keadilan global.

Ironisnya, alasan Dewan meminta penundaan yaitu ketidaksiapan IT system, beratnya beban administrasi, risiko eksklusi, adalah hal yang sejak awal disampaikan negara produsen. Baru ketika Uni Eropa merasakannya sendiri, kekhawatiran itu diakui secara formal.

Antara Ambisi Hijau dan Realitas Lapangan

Perpecahan di Uni Eropa bukan sekadar dinamika politik, tetapi tanda bahwa EUDR menyentuh batas kemampuan sistemnya. Yang dulu tampak sebagai konsensus hijau kini mengelupas, memperlihatkan ketidaksiapan struktur administratif dan digital yang seharusnya menopang regulasi.

Sebagian negara khawatir EUDR membebani industri dan rumah tangga mereka sendiri seperti biaya kepatuhan yang melonjak, rantai pasok pangan yang terancam, serta sistem digital yang belum berfungsi. Dewan menegaskan bahwa otoritas nasional dan perusahaan belum siap.

Di sisi lain, terdapat negara-negara yang tetap berpegang pada narasi moral EUDR, takut jika penyederhanaan membuka celah tuduhan bahwa Eropa tidak lagi memimpin isu iklim dunia.

Read also:  Menghitung Potensi Perdagangan Karbon Indonesia di Era Perpres 110/2025

Retakan paling jelas terlihat ketika Jerman, negara terkuat di UE, abstain pada posisi Dewan sebelumnya. Konflik internal antara Kementerian Pertanian dan Lingkungan Hidup menunjukkan dilema fundamental: ambisi lingkungan Eropa ternyata tidak diikuti kesiapan infrastruktur dan anggaran.

Retaknya konsensus ini membuka ruang bagi negara produsen untuk kembali membawa isu keadilan global ke meja perundingan.

Urgent Procedure: Sinyal Keraguan Eropa

Keputusan Parlemen menggunakan urgent procedure bukanlah tanda kekuatan, melainkan pengakuan bahwa waktu hampir habis dan masalah semakin menumpuk. Tanpa kesepakatan sebelum akhir 2025, EUDR akan berlaku secara formal meskipun sistem digital dan kapasitas administrasi belum siap.

Situasi ini berbahaya: regulasi berlaku tetapi tidak bisa dijalankan—legal vacuum yang berpotensi menimbulkan kekacauan di perbatasan, penolakan produk, serta interpretasi berbeda antarnegara.

Dewan meminta simplification review sebelum April 2026, pengakuan bahwa beban regulasi memang berlebihan. Untuk pertama kalinya, EUDR ditempatkan sebagai kebijakan yang harus ditinjau ulang, bukan norma absolut.

Eropa kini berusaha menyelamatkan EUDR dari kegagalannya sendiri.

Dampak bagi Indonesia

Apa yang terjadi di Brussels akan menentukan nasib jutaan petani kecil di Indonesia, terutama sawit, karet, kopi, kakao, dan kayu.

Penundaan implementasi hingga 2026 memberi waktu bagi Eropa untuk merapikan sistemnya. Namun waktu tambahan itu tidak diberikan kepada petani kecil di negara produsen. Operator kecil Eropa mendapat ruang bernapas lebih panjang, sementara petani kecil Indonesia tetap menghadapi tuntutan ketelusuran yang berat, kompleks, dan belum siap bahkan di UE sendiri.

Namun kekacauan internal Eropa membuka peluang strategis bagi Indonesia:

  • untuk mengubah narasi bahwa negara produsen hanya “pembela diri”,
  • untuk menegaskan bahwa keberlanjutan harus adil dan berbasis data,
  • untuk menunjukkan langkah konkret Indonesia: revitalisasi ISPO, digitalisasi STDB, dashboard legalitas, moratorium hutan, hingga jurisdictional approach.
Read also:  UMBRA: PR 110/2025 Reinvents Indonesia’s Carbon Market Framework

Indonesia berada di posisi tepat untuk memimpin percakapan global soal just sustainability.

Satu Bulan yang Menentukan

Empat minggu menjelang tenggat, Uni Eropa harus menyatukan posisi Komisi, Dewan, dan Parlemen. Jika gagal, EUDR berlaku tanpa sistem pendukung. Jika berhasil, regulasi ditunda setahun penuh dan direvisi.

Keputusan ini akan membentuk wajah arsitektur keberlanjutan global selama bertahun-tahun. Dampaknya akan terasa di desa-desa di Sumatra, koperasi perempuan di Kalimantan, petani kakao di Ghana, hingga petani kopi di Kolombia.

Indonesia harus mengambil posisi tegas—berbasis data, moralitas kebijakan, dan kepemimpinan diplomatik.

Penutup: Jangan Biarkan Transisi Hijau Menjadi Proyek Elitis

Kisah EUDR dua tahun terakhir menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak bisa dibangun dari satu sudut pandang. Saat fondasi EUDR mulai retak, suara pertama yang terdengar adalah suara petani kecil—yang selama ini diabaikan.

Krisis EUDR memberi kesempatan langka untuk memperbaiki arah. Keberlanjutan tidak boleh menjadi benturan Utara–Selatan, tetapi menjadi ruang kerja sama yang adil.

Indonesia siap memimpin narasi itu. Bukan dengan konfrontasi, tetapi dengan bukti, integritas, dan pengalaman nyata.

Kita tidak menolak keberlanjutan; kita menolak ketidakadilan.
Tidak menolak aturan; kita menolak aturan yang mengabaikan mereka yang paling rapuh.

Transisi hijau hanya akan berhasil jika berdiri di atas martabat mereka yang hidup dari bumi, bukan hanya mereka yang mengaturnya dari kejauhan. ***

TOP STORIES

MORE ARTICLES

Menghitung Potensi Perdagangan Karbon Indonesia di Era Perpres 110/2025

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Penulis buku: Seputar hutan dan kehutanan: masalah dan solusi, Membangun hutan & menjaga lingkungan: masalah dan solusi) Ecobiz.asia - Menko Bidang Kemaritiman...

UMBRA: PR 110/2025 Reinvents Indonesia’s Carbon Market Framework

Ecobiz.asia - The issuance of Presidential Regulation (PR) No. 110/2025 marks a major policy shift in Indonesia’s carbon market landscape. The regulation introduces new...

Dari Hutan ke Diplomasi: Bagaimana CEPA Mengubah Wajah Sawit Indonesia

  Oleh: Diah Suradiredja (Peneliti kebijakan dan kandidat doktor di bidang tata kelola lingkungan dan perdagangan internasional) Ecobiz.asia - Perjanjian perdagangan antara Uni Eropa dan Indonesia...

Transformasi Penyuluhan Kehutanan di Tengah Wacana Penarikan Penyuluh ke Pusat

Oleh: Dr. Eka W. Soegiri Ecobiz.asia - Wacana penarikan penyuluh kehutanan dari daerah ke pusat saat ini tengah mencuat. Gagasan ini mencerminkan keinginan untuk...

Perpres 110/2025: Menakar Nilai Ekonomi Karbon sebagai Mesin Pertumbuhan Hijau Indonesia

Oleh: Jerry Marmen (Founder Asosiasi Penggiat Karbon dan Bisnis Berkelanjutan/Atkarbonist) Ecobiz.asia - Indonesia baru saja melangkah ke fase penting dalam pembangunan berkelanjutan. Terbitnya Peraturan Presiden...

TOP STORIES

Indonesia Sets Two Issuance Workflows for Forest Carbon Credits, Ensures Project Integrity

Ecobiz.asia — Indonesia’s Ministry of Forestry has confirmed that forest carbon credits can now be issued through two distinct issuance workflows: the national Greenhouse...

Ada Dua Jalur Penerbitan Kredit Karbon Kehutanan, Kemenhut Pastikan Integritas Proyek

Ecobiz.asia — Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menegaskan bahwa penerbitan kredit karbon di sektor kehutanan kini dapat dilakukan melalui dua mekanisme: Sistem Perdagangan Emisi Gas Rumah...

Revisi UU Kehutanan: Menjawab Tantangan Reforma Agraria

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Ecobiz.asia - Pada Rabu (24/9/2025), DPR RI menerima aspirasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)...

Indonesia Links Carbon Finance to Forest Recovery Plan in Push to Curb Flood Risks

Ecobiz.asia – Indonesia’s Forestry Ministry said on Friday it is accelerating forest and land rehabilitation efforts, partly by tapping voluntary carbon markets, as severe...

Mubadala Energy–PLN EPI Sepakati Pemanfaatan Gas Andaman untuk Perkuat Transisi Energi Nasional

Ecobiz.asia — Mubadala Energy dan PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) menandatangani Heads of Agreement (HoA) untuk pemanfaatan gas dari Laut Andaman sebagai...