Ecobiz.asia – Deforestasi hutan di Aceh yang telah berlangsung sejak sekitar tiga dekade lalu dinilai masih berdampak hingga kini dan menjadi salah satu faktor penyebab banjir bandang yang menyapu 18 kabupaten di Aceh pada bulan lalu.
Direktur Eksekutif Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) Farwiza Farhan mengatakan HAkA telah menyusun peta monitoring bencana sejak 2022 dengan memetakan wilayah rawan banjir dan longsor serta mengaitkannya dengan kehilangan tutupan hutan di Aceh.
Pemetaan dilakukan berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pola bencana yang berulang dari tahun ke tahun. Hasil pemetaan tersebut menunjukkan wilayah dengan intensitas bencana tertinggi berada di Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang.
“Jika dilihat pada periode 2015–2025, sekitar dua dekade terakhir, tampak tidak terlalu besar. Tapi kalau kita tarik jauh ke belakang, kehilangan tutupan hutan sudah terjadi sejak lama,” ujarnya dalam Webinar Diskusi Nexus Tiga Krisis Planet: Risiko Cuaca Ekstrem dan Solusi Iklim, pada Kamis (18/12/2025).
Dalam paparannya, Farwiza menjelaskan deforestasi di DAS Pesangan, Kurunggerto, dan Tamiang seolah-olah tidak terlihat besar. Namun, jika dilihat dari periode 1990 sampai 2020, kehilangan tutupan hutan telah terjadi sejak lama.
“Implikasi dari kerusakan hutan di tahun 90-an itu masih kita rasakan sampai sekarang,” katanya.
Sebuah studi pascasarjana dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2020 menunjukkan DAS Tamiang memiliki sensitivitas sangat tinggi terhadap banjir bandang dan berpotensi mempengaruhi 70 persen desa di wilayah tersebut, mencakup Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan sebagian Aceh Tenggara.
Selain itu, ia juga menyinggung hasil kerja tim penyusun tata ruang Aceh, Tipireska, pada 2006–2008 yang telah memetakan tutupan hutan, sensitivitas lahan, curah hujan, dan sebaran penduduk. Saat itu, tim menyimpulkan Aceh tidak lagi memiliki kawasan hutan yang aman untuk dibuka.
“Setiap pembukaan lahan yang terjadi di Aceh sejak masa itu akan beresiko besar terhadap bencana,” sambungnya.
Farwiza menegaskan bahwa dampak bencana yang dihadapi Aceh saat ini sebenarnya bukan hal baru dan telah lama diketahui melalui berbagai kajian ilmiah.
“Tapi lagi-lagi seperti yang diceritakan oleh banyak orang, bencana besar terjadi ketika pemerintah tidak mau mendengar apa kata peneliti,” tutupnya. *** (Putra Rama Febrian)


