Ecobiz.asia — Pasar karbon sukarela (voluntary carbon market/VCM) dinilai sebagai salah satu instrumen strategis yang dapat menjembatani kebutuhan pendanaan iklim sekaligus memperkuat pengelolaan hutan berkelanjutan. Melalui mekanisme berbasis insentif, VCM berpeluang besar mendukung pencapaian target Indonesia FOLU Net Sink 2030 secara inklusif dan kredibel.
Isu tersebut menjadi pembahasan utama dalam diskusi FOLU Talks bertema “Mengenal Voluntary Carbon Market Sektor Kehutanan”, yang digelar oleh Kementerian Kehutanan pada Rabu (9/7).
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, Dr. Mahfudz, menyatakan VCM memberi ruang bagi berbagai pihak—individu, perusahaan, hingga organisasi—untuk secara sukarela membeli kredit karbon dari proyek-proyek pengurangan emisi, termasuk di sektor kehutanan.
Baca juga: Tak Sekadar Jadi Penonton, Indonesia Potensial Jadi Pemimpin Pasar Karbon Sukarela Global
“Ini bukan hanya mendorong pembiayaan iklim berbasis pasar, tapi juga memperkuat konservasi dan tata kelola hutan yang berkelanjutan,” ujarnya.
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim, Prof. Haruni Krisnawati, menambahkan bahwa sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU) memegang peranan krusial dalam pencapaian target penurunan emisi Indonesia. Sektor ini diperkirakan menyumbang hingga 60 persen dari total target yang tercantum dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).
Indonesia sendiri menargetkan penurunan emisi sebesar 31,89 persen secara mandiri dan hingga 43,2 persen dengan dukungan internasional pada 2030, serta mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.
“Untuk FOLU Net Sink 2030, kita membutuhkan pendanaan sekitar Rp400 triliun. VCM dapat menjadi salah satu sumber pembiayaan utama melalui pendekatan insentif,” jelas Haruni.
Melalui skema VCM, pelaku pasar dapat membeli kredit karbon dari proyek-proyek seperti reforestasi, restorasi lahan gambut dan mangrove, serta konservasi hutan. Kredit tersebut umumnya mengacu pada standar internasional seperti Verra, Gold Standard, dan ART-TREES.
Dengan kekayaan ekosistem dan luasnya tutupan hutan tropis, Indonesia dinilai memiliki keunggulan komparatif dalam mengembangkan proyek-proyek berbasis solusi alam, seperti REDD+. “Potensi kita besar untuk menjadi pemain utama dalam VCM global,” tegas Haruni.
Ia menambahkan, Indonesia telah memiliki kerangka regulasi yang memadai untuk mendukung pelaksanaan perdagangan karbon, seperti Perpres Nomor 98 Tahun 2021 dan sejumlah Peraturan Menteri LHK yang mengatur tata laksana Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di sektor kehutanan. Regulasi ini memungkinkan integrasi proyek-proyek VCM ke dalam target nasional melalui mekanisme nesting.
Baca juga: PGN Targetkan Efisiensi dan Akses Energi Lewat Proyek Pipa dan LNG Hub Strategis
Meski begitu, Haruni menggarisbawahi sejumlah tantangan seperti tingginya biaya validasi dan verifikasi, keterbatasan data, serta perlunya peningkatan kapasitas di tingkat lokal dan daerah. Ia juga menyoroti pentingnya mekanisme insentif bagi masyarakat dan transparansi dalam pembagian manfaat.
“Kita harus memastikan sistem pendaftaran dan perizinan berjalan satu pintu, adil, dan akuntabel,” ujarnya.
Haruni menutup dengan seruan agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi karbon, tetapi juga pemimpin dalam pasar karbon sukarela dunia. “VCM bukan sekadar peluang pendanaan, tapi juga motor penggerak aksi iklim yang kolaboratif, transparan, dan berdampak nyata bagi masyarakat serta lingkungan.”
Diskusi turut menghadirkan Penasehat Utama Menteri Kehutanan Edo Mahendra dan Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization, Moekti Handajani Soejachmoen. ***