Oleh: Diah Suradiredja (Peneliti kebijakan dan kandidat doktor di bidang tata kelola lingkungan dan perdagangan internasional)
Ecobiz.asia – Perjanjian perdagangan antara Uni Eropa dan Indonesia Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) membawa babak baru dalam diplomasi hijau. Melalui Protokol Sawit Berkelanjutan, sawit tidak lagi dipandang sebagai penyebab deforestasi, melainkan bagian dari solusi global. Indonesia kini berpeluang menjadi pemimpin ‘Selatan’ dalam tata kelola komoditas berkelanjutan.
Selama dua dekade terakhir, kelapa sawit menjadi wajah paradoks pembangunan Indonesia. Ia menggerakkan ekonomi desa, membuka lapangan kerja, dan menjadi penyumbang devisa terbesar negara. Namun di sisi lain, sawit juga dituding sebagai biang deforestasi, perusak gambut, dan penyebab ketimpangan agraria.
Lebih dari 17 juta warga Indonesia bergantung pada industri ini, dari petani kecil hingga buruh pabrik. Karena itu, membicarakan sawit bukan hanya soal ekspor dan impor, tetapi tentang masa depan jutaan keluarga di pedesaan.

Dari Ketegangan ke Kolaborasi
Penandatanganan EU–Indonesia CEPA pada September 2025 memperkenalkan Protokol Sawit Berkelanjutan, sebuah terobosan dalam hubungan dagang dan lingkungan global.
Untuk pertama kalinya, sawit tidak lagi diperlakukan semata sebagai sumber konflik dagang, melainkan sebagai alat kerja sama pembangunan berkelanjutan.
Hubungan sawit Indonesia dan Uni Eropa sudah lama tegang. Uni Eropa memperketat kebijakan lingkungannya lewat Renewable Energy Directive II (RED II) dan EU Deforestation Regulation (EUDR), yang mengharuskan semua produk pertanian dan kehutanan bebas deforestasi serta memiliki titik koordinat kebun asal bahan baku.
Bagi petani kecil di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, kebijakan ini terasa berat. Mereka tidak punya peta digital, akses pembiayaan, atau kapasitas administratif untuk memenuhi due diligence Eropa. Akibatnya, sebagian khawatir akan tersingkir dari rantai pasok global.
CEPA muncul sebagai jalan tengah. Perjanjian ini menegaskan bahwa perdagangan tidak boleh dijadikan alat proteksionisme, tetapi harus mendukung pembangunan ekonomi hijau dan inklusif.
Melalui Chapter 15: Trade and Sustainable Growth and Development, Indonesia dan Uni Eropa sepakat bekerja sama memperkuat tata kelola sawit, bukan saling menyalahkan, tetapi saling membangun.
ISPO Naik Kelas
Kunci dari transformasi ini adalah Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), sistem sertifikasi nasional yang diwajibkan bagi semua produsen sawit.
Sebelumnya, ISPO kerap dianggap lemah dan hanya administratif. Namun melalui CEPA, ISPO diakui sebagai mekanisme legalitas dan keberlanjutan nasional yang setara dengan standar internasional.
CEPA menugaskan kedua pihak untuk memperkuat ISPO agar selaras dengan kriteria traceability dan risk-based due diligence yang disyaratkan EUDR. Langkah ini mencakup:
- integrasi data spasial kebun melalui National Dashboard for Legal and Risk Verification,
- peningkatan transparansi dan audit independen,
- serta peningkatan partisipasi publik dalam sistem verifikasi.
Dengan pembaruan ini, ISPO berpotensi menjadi contoh tropical sustainability framework, model keberlanjutan dari negara berkembang yang diakui global.
Indonesia tak lagi sekadar penyesuai standar, tetapi perancang norma baru perdagangan hijau.
Petani Kecil: Dari Objek ke Subjek Keberlanjutan
Transformasi sawit tidak akan berarti tanpa keterlibatan petani kecil, yang mengelola sekitar 6,5 juta hektare lahan dan memasok hampir 40 persen produksi nasional.
Selama ini, keberlanjutan sering terasa jauh dari jangkauan mereka. Sertifikasi mahal, data spasial rumit, dan persyaratan dokumen menakutkan.
CEPA membawa pendekatan berbeda: inclusive compliance, yakni kepatuhan yang dibangun secara inklusif.
Indonesia dan Uni Eropa berkomitmen memberikan:
- pendampingan teknis dan digitalisasi peta lahan,
- sertifikasi kelompok dan koperasi untuk menekan biaya,
- serta akses pembiayaan transisi hijau melalui BPDPKS dan lembaga keuangan hijau.
Dengan demikian, keberlanjutan bukan lagi monopoli perusahaan besar, melainkan proses kolektif yang melibatkan semua pelaku rantai pasok.
“Keberlanjutan sejati hanya mungkin jika petani kecil menjadi bagian dari solusi,” begitu bunyi salah satu prinsip kerja sama CEPA.
Dari Hutan ke Diplomasi
Lebih dari sekadar perdagangan, CEPA membuka ruang bagi diplomasi hijau Indonesia.
Dalam Article 15.2, CEPA mengakui hak setiap negara untuk menentukan tingkat perlindungan lingkungan dan sosialnya sendiri, sejauh konsisten dengan perjanjian internasional seperti Paris Agreement dan Convention on Biological Diversity.
Prinsip ini memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin Selatan (Southern sustainability leadership), negara berkembang yang mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial, dan ekologi dalam negosiasi global.
Indonesia kini dapat berdialog dari posisi sejajar: bukan sebagai “negara yang diatur”, tetapi sebagai mitra yang menetapkan arah bersama.
Model ini bahkan bisa direplikasi oleh negara tropis lain, Malaysia, Kolombia, atau Pantai Gading, yang menghadapi tekanan serupa dari pasar global.
Tantangan di Lapangan
Meski kerangka CEPA tampak ideal, implementasinya membutuhkan kerja keras.
Beberapa tantangan utama meliputi:
- Fragmentasi Data. Legalitas lahan diatur ATR/BPN, kehutanan di Kementerian Kehutanan, data petani kecil di Kementan. Sinkronisasi antarinstansi menjadi kunci keandalan verifikasi.
- Biaya Transisi. Sertifikasi, pemetaan, dan digitalisasi memerlukan dukungan finansial besar. Tanpa insentif hijau, beban akan jatuh pada petani kecil.
- Transparansi Publik. Keberhasilan CEPA ditentukan oleh sejauh mana data dapat diakses, diverifikasi, dan diawasi oleh masyarakat sipil.
Untuk menjawab tantangan ini, CEPA membentuk Specialised Committee on Trade and Sustainable Growth dan Domestic Advisory Groups yang melibatkan pemerintah, industri, akademisi, dan LSM.
Forum ini diharapkan menjadi jembatan komunikasi lintas sector, dari kebijakan hingga praktik di lapangan.
Menulis Ulang Narasi Sawit
CEPA dan Protokol Sawit memberi Indonesia peluang untuk menulis ulang narasi global tentang sawit. Jika dulu sawit identik dengan deforestasi, kini ia dapat menjadi simbol ekonomi sirkular berbasis sumber daya tropis.
Bayangkan: setiap liter minyak sawit dapat ditelusuri ke kebun yang legal dan bebas deforestasi; setiap petani kecil memiliki peta digital dan akses ke pembiayaan hijau; setiap pabrik mematuhi standar tenaga kerja dan kesetaraan gender.
Ketika itu terjadi, sawit tidak hanya akan diterima di pasar Eropa, tetapi menjadi contoh global tentang bagaimana negara berkembang mengelola komoditasnya dengan tanggung jawab.
Indonesia kini tidak lagi berada di sisi yang disalahkan, tetapi di garis depan diplomasi ekonomi hijau dunia.
Dari Tuduhan ke Transformasi
Sawit dulu sering dianggap simbol masalah lingkungan. Tapi lewat CEPA, ia punya kesempatan menjadi ikon transformasi keberlanjutan. Kuncinya: transparansi, kolaborasi, dan keadilan sosial.
Bila dilaksanakan dengan konsisten, CEPA dapat menjadikan Indonesia bukan sekadar eksportir minyak nabati, tetapi arsitek sistem perdagangan berkelanjutan global, sebuah warisan diplomasi yang berakar di hutan tropis, tapi berbicara di panggung dunia. ***





