Ecobiz.asia – Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memperkuat penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) atau tanggung jawab produsen yang diperluas, sebagai langkah strategis mempercepat pengurangan timbulan sampah kemasan di Indonesia.
Kebijakan ini menegaskan bahwa produsen tidak hanya bertanggung jawab terhadap keuntungan penjualan, tetapi juga terhadap limbah kemasan yang dihasilkan dari produk mereka.
“Produsen tidak boleh hanya mengambil keuntungan dari hasil penjualan. Mereka juga harus bertanggung jawab terhadap kemasan yang berakhir di lingkungan. Tanggung jawab ini harus menjadi bagian dari rantai produksi yang berkelanjutan,” ujar Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkuler KLHK, Agus Rusly, dalam acara Multi-Stakeholder Dialogue Plastic, Climate, and Biodiversity Nexus Forum yang digelar KLH dan WWF Indonesia, Selasa (28/10/2025).
Agus menjelaskan, terdapat sekitar 8.600 perusahaan makanan dan minuman di Indonesia yang berkontribusi terhadap timbulan sampah kemasan.
Namun, berdasarkan data KLH, baru sekitar 100 perusahaan yang telah menyusun dan melaksanakan peta jalan pengurangan sampah sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Untuk memperkuat pelaksanaan kebijakan ini, KLH tengah menyiapkan revisi terhadap Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah. Revisi tersebut bertujuan mempertegas dasar hukum penerapan EPR serta memperluas cakupan kewajiban produsen hingga sektor elektronik dan kosmetik, yang selama ini belum diatur secara komprehensif.
“Di banyak negara, tanggung jawab produsen tidak berhenti di saat produk dijual. Mereka bahkan sudah memperhitungkan daur hidup produknya sejak sebelum dipasarkan. Kita ingin Indonesia menuju ke arah yang sama,” jelas Agus.
Selain memperkuat regulasi, KLH juga mendorong pengawasan di tingkat daerah. Melalui surat edaran menteri, seluruh gubernur, bupati, dan wali kota diminta mengawasi pelaksanaan kewajiban pengurangan sampah oleh produsen di wilayahnya. Pemerintah daerah bahkan dapat menolak distribusi produk apabila perusahaan tidak memiliki komitmen dalam pengelolaan sampah.
Agus menegaskan, kebijakan ini bukan untuk membebani pelaku usaha, melainkan untuk menumbuhkan bisnis yang berorientasi keberlanjutan.
“Ketika lingkungan terjaga, kesehatan masyarakat meningkat, dan konsumsi ikut naik. Dalam jangka panjang, keberlanjutan lingkungan justru memperkuat daya saing bisnis,” ujarnya. ***





