Ecobiz.asia — Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) menegaskan bahwa banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat merupakan bencana ekologis, bukan bencana alam, karena kuatnya kontribusi aktivitas manusia dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang merusak lingkungan.
Ketua Umum PHLI Andri Gunawan Wibisana mengatakan penggunaan istilah bencana alam berpotensi mengaburkan tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat.
“Kalau kita menggunakan istilah bencana alam, itu bisa dijadikan alasan untuk lepas dari pertanggungjawaban. Ini jelas bencana ekologis,” ujar Andri dalam konferensi pers PHLI secara daring, Senin (22/12/2025).
Menurut PHLI, bencana di tiga provinsi Sumatera dipicu oleh alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan, pertambangan, dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dilegalkan melalui kebijakan dan perizinan pemerintah.
Oleh karena itu, PHLI mendesak pemerintah menetapkan bencana ekologis tersebut sebagai bencana nasional.
PHLI menilai penanganan pascabencana hingga hampir satu bulan berjalan lamban dan tidak komprehensif. Fokus pemerintah dinilai masih terbatas pada penanganan korban manusia dan kerugian material, tanpa diiringi pemulihan lingkungan yang memadai.
“Kalau tidak ada pemulihan lingkungan, bencana ini sangat mungkin terulang,” kata Andri.
PHLI juga mengkritik sikap pemerintah yang menolak menetapkan bencana nasional dan menolak bantuan internasional dengan alasan mampu menangani sendiri, meski di lapangan masih terjadi krisis listrik, air bersih, akses jalan, dan distribusi bantuan. Ribuan meter kubik kayu masih menumpuk di sungai dan permukiman warga terdampak.
Berdasarkan data BNPB per 20 Desember 2025, bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menyebabkan 1.071 orang meninggal dunia, 185 orang hilang, sekitar 7.000 orang luka-luka, serta memaksa 526.868 orang mengungsi. Selain itu, sebanyak 147.236 rumah dilaporkan rusak.
PHLI mengapresiasi langkah pemerintah dalam menindak sejumlah perusahaan, namun menilai penegakan hukum masih parsial karena hanya menyasar pelaku di lapangan.
“Deforestasi yang memicu bencana bisa saja terjadi melalui izin yang sah. Kita sering lupa satu aktor penting, yaitu pemerintah sebagai pemberi izin,” ujar Andri.
PHLI mendorong agar pejabat pemberi izin juga dimintai pertanggungjawaban hukum jika terbukti lalai dalam pengawasan. Ini merujuk Pasal 112 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memungkinkan pejabat dipidana apabila kelalaiannya menyebabkan kerusakan lingkungan dan korban jiwa.
Selain itu, PHLI mendesak pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh kebijakan sumber daya alam untuk mencegah pergeseran deforestasi ke wilayah lain.
“Kalau Sumatera sudah habis dieksploitasi lalu berpindah ke Papua, maka bencana serupa akan terulang,” katanya.
Dalam pernyataan sikapnya, PHLI menuntut pemerintah menetapkan bencana ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai bencana nasional; melakukan pemulihan lingkungan hidup; meninjau ulang dan memberlakukan moratorium perizinan industri ekstraktif di kawasan hutan; membuka data perusahaan pemegang izin; menegakkan hukum secara tegas terhadap perusak lingkungan; serta menerapkan pertanggungjawaban pidana terhadap pejabat yang menyalahgunakan kewenangan dalam pemberian izin. *** (Putra Rama Febrian)


