Membaca Arah Baru Kebijakan Hijau Tiongkok: Peluang, Risiko, dan Masa Depan Sawit Indonesia

MORE ARTICLES

oleh: Diah Suradiredja (Pemerhati perdagangan komoditas berkelanjutan)

Ecobiz.asia – Tiongkok kini memasuki fase penting dalam evolusi kebijakan lingkungannya. Negara tersebut bergerak dari model pertumbuhan yang menekankan volume menuju pembangunan yang mengutamakan kualitas, efisiensi karbon, dan integritas rantai pasok. Pergeseran ini tampak bukan hanya dalam retorika politik, tetapi juga dalam konsolidasi kebijakan melalui kerangka 1+N, strategi besar untuk mencapai puncak emisi sebelum 2030 dan netral karbon pada 2060, yang diterjemahkan ke dalam puluhan rencana aksi sektoral mencakup energi, industri berat, pertanian, kehutanan, transportasi, dan pembiayaan hijau.

Antara 2021–2024, lebih dari 40 dokumen pelaksanaan diterbitkan, membentuk peta jalan transisi hijau nasional. Hasilnya terlihat dari penurunan intensitas karbon PDB lebih dari tiga persen pada 2023, rekor peningkatan kapasitas energi terbarukan, dan aliran investasi hijau terbesar di dunia. Tiongkok tidak lagi sekadar mendorong pertumbuhan, melainkan pertumbuhan yang kompatibel dengan ekonomi rendah karbon global.

Salah satu perubahan besar adalah penerapan Product Carbon Footprint (PCF), sistem penghitungan jejak karbon yang menjadi syarat masuknya produk, baik domestik maupun impor, ke pasar Tiongkok. PCF kini berlaku untuk pangan, petrokimia, tekstil, dan berbagai komoditas industrial. Dengan demikian, performa karbon suatu produk menjadi penentu akses pasar. Bagi sawit Indonesia, hal ini berarti penilaian tidak lagi bertumpu pada harga atau volume, tetapi pada intensitas karbon yang dapat diverifikasi secara ilmiah.

Jika merujuk data ilmiah terbaru, sawit memiliki keunggulan relatif dalam kerangka PCF. Produktivitasnya empat hingga sembilan kali lebih tinggi dibandingkan kedelai, rapeseed, dan sunflower; kebutuhan lahannya juga jauh lebih rendah. Emisi budidaya sawit selama tidak meluas ke kawasan berisiko tinggi, relatif kompetitif dibandingkan minyak nabati lain. Dengan standar baru yang menekankan intensitas karbon, peluang Indonesia untuk menempatkan sawit sebagai minyak nabati rendah karbon terbuka lebar, asalkan praktik budidaya dan rantai pasok dapat dibuktikan melalui data dan verifikasi.

Read also:  Bencana dan Distorsi Informasi, Pentingnya Komunikasi Publik Pejabat Pemerintah

Integrasi Kebijakan Iklim, Industri, dan Perdagangan dalam Arsitektur 1+N

Kerangka 1+N menjadi fondasi era baru kebijakan hijau Tiongkok. Strategi peak carbon dan carbon neutrality dipertegas melalui kebijakan sektoral yang menyangkut hampir semua aspek pembangunan. Keunggulan Tiongkok terletak pada konsistensi implementasi: industri besar, BUMN, pemerintah provinsi, dan lembaga keuangan berjalan dalam arsitektur kebijakan yang sama.

Ketergantungan Tiongkok pada minyak nabati memberikan konteks strategis bagi sawit Indonesia. Dengan konsumsi sekitar 38 juta ton minyak nabati pada 2024, produksi domestik (kedelai dan rapeseed) tidak mencukupi. Sawit menawarkan produktivitas tinggi, harga stabil, dan kesesuaian teknis untuk industri makanan, oleochemical, farmasi, kosmetik, hingga surfaktan. Tidak mengherankan jika impor minyak sawit Tiongkok pada 2024 mendekati tujuh juta ton.

Kebutuhan ini bukan sekadar untuk pangan, tetapi juga untuk industri kimia modern Tiongkok yang semakin mengarah pada manufaktur berkelanjutan. Turunan sawit kini menjadi bahan baku lebih dari 60 persen produk oleochemical Tiongkok, sebuah posisi strategis yang sulit digantikan minyak nabati lain.

Geopolitik Rantai Pasok

Tiongkok dan Barat kini sama-sama mendorong kebijakan perdagangan berbasis keberlanjutan, meskipun pendekatannya berbeda. Uni Eropa mengedepankan prinsip kehati-hatian melalui EUDR, sementara Tiongkok menekankan efisiensi karbon dan stabilitas pasokan melalui PCF dan green procurement.

Kontras standar ini menciptakan ketegangan baru dalam rantai pasok fats & oils, oleochemical, biodiesel, dan bahan baku industri lainnya. Penguasaan pasar premium global akan ditentukan oleh negara yang mampu menyediakan data paling lengkap dan sistem traceability paling presisi. Indonesia berada tepat di tengah pertarungan tersebut.

Read also:  Bencana Sumatera dan Pentingnya Mengelola DAS sebagai Rumah Kita Bersama

Sementara konsumsi biodiesel berbasis sawit di Eropa menurun akibat pembatasan ILUC dan RED III, permintaan di Asia justru meningkat. Tiongkok menambah konsumsi biofuel lebih dari 14 persen pada 2023 dan memperluas co-processing minyak nabati dalam kilang minyaknya. IEA memproyeksikan permintaan minyak sawit untuk energi di Tiongkok dapat mencapai 2,5 juta ton pada 2030.

Pergeseran pusat gravitasi ini menciptakan peluang strategis bagi Indonesia untuk menempatkan sawit sebagai bahan baku energi transisi di Asia.

Dengan kontribusi 63 persen terhadap total impor sawit Tiongkok, Indonesia menjadi pemasok utama. Ketergantungan ini bersifat timbal balik: industri Tiongkok membutuhkan stabilitas suplai, sementara bagi Indonesia tidak ada pasar alternatif dengan skala sebanding.

Indonesia di Simpang Geopolitik Baru

Dalam ekonomi global yang semakin ditentukan oleh kemampuan membuktikan, bukan sekadar menjual, posisi Indonesia bergantung pada kesiapan data, integritas rantai pasok, dan diplomasi teknis. Rivalitas Tiongkok–Barat membuka peluang bagi Indonesia untuk memainkan peran yang lebih strategis dalam ekonomi pangan dan energi rendah karbon Asia.

Namun ada realitas domestik yang perlu diperhatikan: posisi petani kecil. Mereka mengelola lebih dari 40 persen kebun sawit nasional, tetapi banyak yang belum memiliki legalitas lahan lengkap atau sistem pencatatan data yang dibutuhkan EUDR dan PCF. Tanpa dukungan negara, mereka berisiko tidak terdata dan dalam ekonomi digital, yang tidak terdata berarti tidak dianggap ada.

Read also:  Reevaluasi Perhutanan Sosial: Saatnya Fokus pada Kualitas dan Kemandirian KUPS

Hal ini berdampak langsung pada harga TBS. TBS yang terverifikasi cenderung mendapatkan harga lebih tinggi, sementara TBS tanpa data dihargai lebih rendah atau ditolak. Digitalisasi STDB menjadi instrumen kunci, bukan sekadar kewajiban administratif.

Selain itu, akses modal hijau akan menentukan keberlanjutan petani kecil. Tiongkok menyalurkan lebih dari satu triliun dolar pembiayaan hijau pada 2023. Indonesia membutuhkan lebih dari Rp100 triliun untuk peremajaan sawit rakyat hingga 2030. Credit scoring berbasis data kebun dan carbon-linked financing dapat membuka jalan bagi produktivitas dan pengurangan emisi.

Petani Kecil dan Masa Depan Standar Global

Di tengah dinamika kebijakan global, petani kecil adalah kelompok yang paling merasakan dampaknya. EUDR menuntut geolokasi dan bukti bebas deforestasi pasca-2020, sementara PCF mewajibkan data emisi on-farm dan intensitas pupuk. Semua ini sulit dipenuhi tanpa sistem dukungan yang kuat.

Jika Indonesia ingin memanfaatkan momentum dan menghindari eksklusi petani kecil, negara perlu memastikan bahwa transformasi standar global tidak menjadi beban, tetapi instrumen pemberdayaan.

Sawit dapat menjadi model perdagangan hijau yang inklusif di mana teknologi dan data tidak menjadi pintu diskriminasi, tetapi alat untuk meningkatkan posisi tawar petani dan daya saing nasional. Inilah ruang diplomasi yang dimiliki Indonesia dalam membentuk standar keberlanjutan tropis di masa depan. ***

LATEST STORIES

MORE ARTICLES

Reevaluasi Perhutanan Sosial: Saatnya Fokus pada Kualitas dan Kemandirian KUPS

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Penulis Buku Seputar Hutan dan Kehutanan (2021) dan Membangun Hutan Menjaga Lingkungan (2023)) Ecobiz.asia...

Ketika Tiongkok Berbelok ke Hijau, Arah 2026 dan Cara Indonesia Menyikapinya dengan Kepala Tegak

Oleh : Diah Suradiredja (Pemerhati perdagangan komoditas berkelanjutan) Ecobiz.asia - Dalam satu dekade terakhir, kebijakan hijau Tiongkok bertransformasi dari agenda lingkungan menjadi strategi negara. Ia...

Di Balik Pencabutan 22 PBPH: Fakta, Konteks, dan Realitas

Oleh: Pramono DS (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Ecobiz.asia - Di tengah bencana di Pulau Sumatera yang ditandai oleh banjir bandang disertai...

Bencana dan Distorsi Informasi, Pentingnya Komunikasi Publik Pejabat Pemerintah

Oleh: Ihwan, S.Sos., M.Si. (Analis Kebijakan Ahli Madya, Kementerian Kehutanan) Ecobiz.asia - Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat...

Bencana Sumatera dan Pentingnya Mengelola DAS sebagai Rumah Kita Bersama

Oleh: Dr. Ir. Eka W. Soegiri (Anggota Forum DAS Nasional) Ecobiz.asia - Sejak akhir November 2025, tiga provinsi di ujung barat Indonesia — Aceh, Sumatera...

TOP STORIES

Gandeng Kelompok Tani, Pertamina Hulu Mahakam Rehabilitasi 345 Hektare DAS

Ecobiz.asia – PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Wilayah Kalimantan Sulawesi merehabilitasi Daerah Aliran...

Indonesia Opens Access to Performance-Based REDD+ Carbon Financing Through ART-TREES

Ecobiz.asia — Indonesia’s Ministry of Forestry (Kemenhut) has opened opportunities for subnational governments to access performance-based REDD+ carbon financing through the ART-TREES mechanism, as...

Berkas Lengkap, Gakkum Kehutanan Segera Bawa 4 Tersangka Perambahan Tahura Jadi Sawit di Jambi ke Persidangan

Ecobiz.asia — Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan Wilayah Sumatera menuntaskan penanganan kasus perambahan kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Orang Kayo Hitam (OKH) di Kabupaten...

Bakal Rugikan Petani, POPSI Tolak Wacana Kenaikan Pungutan Ekspor Sawit untuk Program B50

Ecobiz.asia — Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) menolak wacana kenaikan pungutan ekspor (PE) kelapa sawit pada 2026 yang dikaitkan dengan rencana peningkatan mandatori...

PetroChina Sukses Rehabilitasi 34 Hektare DAS di Jambi, Tingkat Keberhasilan Vegetasi Capai 95 Persen

Ecobiz.asia — SKK Migas–PetroChina International Jabung Ltd. menyelesaikan rehabilitasi lahan seluas 34 hektare di Kawasan Hutan Lindung Gambut (HLG) Londerang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur,...