Ecobiz.asia — Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) memperkuat fondasi tata kelola Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk memastikan pasar karbon Indonesia berjalan transparan, berintegritas, dan bebas manipulasi.
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq,
saat peluncuran Buku Instrumen Safeguards Nilai Ekonomi Karbon menegaskan bahwa NEK bukan sekadar mekanisme transaksi, tetapi sistem tata kelola ekonomi hijau yang menempatkan keadilan sosial dan transparansi sebagai fondasi utama.
“Kita terus mendorong ekosistem Nilai Ekonomi Karbon agar berjalan adil, transparan, dan berkelanjutan. NEK adalah alat untuk memastikan keadilan bagi masyarakat yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam,” ujar Hanif di Jakarta, Selasa (15/10/2025).
Buku tersebut diterbitkan atas kolaborasi Kementerian Lingkungan Hidup, Kejaksaan Agung RI, dan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI).
Hanif menekankan pentingnya kejujuran dalam setiap aktivitas perdagangan karbon, terutama yang melibatkan pembeli internasional.
“Kita harus prudent dan jangan sekali-kali berbuat curang terhadap buyer luar negeri. Sekali saja kepercayaan rusak, pasar dan jaringan akan hilang. Itu kerugian besar bagi bangsa dalam jangka panjang,” tegasnya.
Dari sisi penegakan hukum, Jaksa Agung RI ST Burhanuddin menyampaikan bahwa Kejaksaan tengah menyiapkan pedoman penanganan perkara tindak pidana dalam penyelenggaraan NEK. “Pedoman ini akan menjadi acuan bagi jaksa untuk bertindak profesional dan terukur jika terjadi pelanggaran,” ujarnya.
Sementara itu, CEO IOJI Mas Achmad Santosa mengingatkan agar pelaksanaan NEK tetap berpegang pada tujuan utama mitigasi perubahan iklim, bukan sekadar mengejar keuntungan finansial.
“NEK harus berpijak pada mitigasi iklim. Pengalaman global menunjukkan risiko climate-washing, pelanggaran hak masyarakat lokal akibat tidak diterapkannya FPIC, hingga praktik kejahatan karbon seperti penipuan dan korupsi,” ujarnya. ***