
Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Kehutanan)
Ecobiz.asia – Miris rasanya membaca berita di Harian Kompas edisi Sabtu (6/9/2025) berjudul “Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Rawa Aopa Terancam.” Dalam laporan itu disebutkan bahwa Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara mengalami kebakaran lahan seluas 200 hektare. Selain perburuan liar, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi ancaman nyata bagi keberadaan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.
Padahal, kawasan konservasi hutan seperti suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) maupun kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya) memiliki peran penting dalam melindungi keanekaragaman hayati agar tidak punah. Namun keberadaan kawasan konservasi ini kian terancam oleh berbagai tekanan: perambahan hutan, illegal logging, illegal mining, dan alih fungsi lahan hutan lainnya yang sering terjadi secara ilegal.
Kita sering mendengar istilah keanekaragaman hayati (biodiversity), bahkan Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar di dunia (megabiodiversity). Sayangnya, banyak masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya menyadari nilai strategis kekayaan tersebut. Alih-alih menjaga, kita justru perlahan menghancurkannya demi mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek.
Ancaman terhadap Megabiodiversity Indonesia
Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversity terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Letak geografis di wilayah tropis dan kondisi geologis yang kompleks membuat Indonesia memiliki beragam jenis hayati dan sumber daya mineral. Ada 17 negara di dunia yang dikategorikan sebagai negara megabiodiversity, yaitu negara yang memiliki sedikitnya 5.000 spesies tumbuhan endemik serta ekosistem perairan yang kaya.
Keanekaragaman hayati meliputi tiga tingkatan:
- Keanekaragaman spesies, mencakup seluruh spesies makhluk hidup di bumi, mulai dari bakteri, protista, hingga organisme multiseluler.
- Keanekaragaman genetik, yaitu variasi gen dalam satu spesies, baik antar-populasi maupun antar-individu dalam satu populasi.
- Keanekaragaman ekosistem, yakni keragaman komunitas biotik beserta asosiasinya dengan lingkungan fisik masing-masing.
Hampir semua kebutuhan manusia—pangan, obat, bahan bangunan, hingga pakaian—berasal dari hasil keanekaragaman hayati. Karena itu, perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan mutlak diperlukan.
Namun ancaman terhadap kekayaan ini kian besar. Salah satunya adalah deforestasi, baik legal maupun ilegal, akibat konversi dan alih fungsi hutan. Persoalan deforestasi di Indonesia masih pelik dan sering menimbulkan kebingungan, karena data yang dirilis pemerintah dari waktu ke waktu tidak konsisten.
Pada 2013, Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (Ditjen PDASHL) Kementerian Kehutanan menyebutkan luas lahan sangat kritis di Indonesia mencapai 24,3 juta hektare, 64% di antaranya berada di kawasan hutan. Sementara pada 2018, dalam Rencana Strategis Ditjen PDASHL 2020–2024, disebutkan bahwa lahan kritis di kawasan hutan tersisa 13,36 juta hektare.
Namun data dalam buku The State of Indonesia’s Forests (SOIFO) 2020 menunjukkan angka berbeda: kawasan hutan tetap yang tidak berhutan atau tidak memiliki tutupan hutan mencapai 33,4 juta hektare. Dari total tersebut, lahan kritis di hutan konservasi mencapai 4,5 juta hektare, di hutan lindung 5,6 juta hektare, di hutan produksi terbatas 5,4 juta hektare, di hutan produksi biasa 11,4 juta hektare, dan di hutan produksi yang dapat dikonversi 6,5 juta hektare.
Sejak 1990, laju deforestasi tertinggi terjadi pada 1996–2000, yakni 3,51 juta hektare per tahun. Angka ini menurun secara bertahap: pada 2014–2015 sekitar 1,1 juta hektare, turun menjadi 630.000 hektare pada 2015–2016, dan 496.370 hektare pada 2016–2017. Pada 2019, laju deforestasi masih 450.000 hektare per tahun, lalu menurun menjadi 115.500 hektare pada 2020—angka yang diklaim pemerintah sebagai capaian positif.
Namun di balik angka-angka itu, tekanan terhadap ekosistem tetap besar. Deforestasi yang terus berlangsung mengancam habitat dan kelangsungan hidup berbagai flora dan fauna, baik di kawasan konservasi, hutan lindung, maupun hutan produksi. Satwa besar seperti harimau, gajah, dan orangutan yang memerlukan wilayah jelajah luas sangat rentan kehilangan habitat. Saat sumber pangan di habitat alaminya berkurang, satwa-satwa ini akan keluar mencari makan ke wilayah manusia, memicu konflik yang tak terhindarkan.
Ancaman serupa juga terjadi pada flora endemik. Misalnya, kayu hitam (Diospyros celebica) yang hanya tumbuh di hutan-hutan Poso, Sulawesi Tengah. Jenis kayu mewah ini terancam punah akibat penebangan masif, sementara upaya budidaya atau penanaman kembali belum berhasil karena teknik silvikulturnya belum dikuasai sepenuhnya.
Regulasi dan Implementasi yang Belum Kuat
Perlindungan terhadap megabiodiversity Indonesia masih menghadapi kelemahan regulasi dan implementasi. Kerangka hukum utama baru lahir setelah terbitnya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Indonesia juga telah meratifikasi Protokol Nagoya melalui UU No. 11 Tahun 2013 tentang Akses terhadap Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang (Access and Benefit Sharing).
Revisi terbaru, UU No. 32 Tahun 2024, memperluas cakupan perlindungan keanekaragaman hayati hingga ekosistem perairan. Namun tanpa implementasi yang konsisten di lapangan, regulasi ini tidak akan banyak berarti.
Kenyataan di lapangan menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan. Peringatan dari organisasi konservasi internasional World Wide Fund for Nature (WWF) pada Juli 2025 menegaskan hal itu: dari 10 spesies satwa paling terancam punah di dunia, separuhnya berasal dari Indonesia.
Fakta ini membuktikan bahwa upaya perlindungan keanekaragaman hayati kita masih jauh dari memadai. Selama kekayaan hayati dipandang tidak penting dibanding kepentingan ekonomi jangka pendek, Indonesia akan terus kehilangan spesies-spesies unik yang seharusnya menjadi warisan dunia—seperti harimau Sumatera, orangutan Kalimantan, dan flora endemik di berbagai pulau.
Penutup
Indonesia memiliki modal alam luar biasa sebagai negara megabiodiversity, tetapi potensi itu akan menjadi ilusi jika tidak dikelola dengan visi jangka panjang. Perlindungan keanekaragaman hayati tidak boleh berhenti di tataran regulasi. Ia harus diwujudkan dalam kebijakan lintas sektor: kehutanan, pertanian, energi, dan ekonomi.
Menjaga hutan bukan hanya soal mencegah deforestasi, tetapi memastikan keberlanjutan kehidupan seluruh makhluk di dalamnya. Di tengah krisis iklim global, melindungi keanekaragaman hayati bukan pilihan moral semata—melainkan kebutuhan eksistensial bagi masa depan Indonesia dan dunia. ***