Ecobiz.asia — Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menegaskan bahwa penerbitan kredit karbon di sektor kehutanan kini dapat dilakukan melalui dua mekanisme: Sistem Perdagangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) sebagai jalur kredensial nasional, serta non–SPE-GRK yang berlaku bagi proyek yang menggunakan standar internasional.
Kedua jalur ini memastikan proyek memenuhi syarat integritas sebelum memperoleh izin penerbitan kredit.
Penegasan tersebut disampaikan Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Kehutanan, Laksmi Wijayanti, dalam Global Carbon Summit Indonesia 2025 yang diselenggarakan Ecobiz Asia pada 26-27 November 2025.
Laksmi menjelaskan bahwa seluruh proyek kehutanan wajib melalui pra-aplikasi, pengecekan kelayakan subjek, penyerahan project design document (PDD), verifikasi pemenuhan syarat, dan akhirnya persetujuan penerbitan kredit karbon oleh Menteri Kehutanan.
“Ada dua jalur, SPE-GRK dan non–SPE-GRK. Keduanya tetap mewajibkan persetujuan menteri untuk memastikan proses dan produknya berintegritas tinggi,” kata Laksmi.
Pada jalur SPE-GRK, proyek mengikuti alur yang sepenuhnya terintegrasi dengan sistem nasional—mulai dari pendaftaran mitigation plan (DRAM), rekomendasi registrasi, hingga penerbitan kredit oleh kementerian.
Sementara non–SPE-GRK diperuntukkan bagi proyek yang menerbitkan kredit di standar internasional seperti Verra, Gold Standard, atau Plan Vivo, namun tetap harus mengantongi rekomendasi menteri sebelum registrasi dan sebelum penerbitan kredit.
Ia menekankan bahwa hanya tiga kelompok yang dapat menjadi subjek proyek karbon kehutanan: pemegang izin perhutanan sosial termasuk pemegang hutan adat, pemegang konsesi seperti HPH dan HTI, serta pengembang proyek yang bermitra dengan kementerian di kawasan konservasi. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) belum dapat menjadi subjek proyek karena kerangka hukumnya masih disiapkan.
Menurut Laksmi, penetapan dua jalur penerbitan kredit ini terkait langsung dengan tujuan nasional sektor kehutanan yang menjadi pilar pertumbuhan hijau.
Pemerintah menargetkan instrumen karbon mampu membiayai rehabilitasi 12 juta hektare lahan kritis serta menjaga 49 juta hektare hutan dari deforestasi dan degradasi. Karena itu, setiap kebijakan dan insentif harus tepat sasaran dan menyasar subjek yang sah agar manfaat ekonomi karbon benar-benar sampai pada pengelola hutan di lapangan.
Di hadapan peserta forum, Laksmi menguraikan pentingnya integritas sebagai fondasi penerbitan kredit karbon kehutanan. Proyek wajib memenuhi standar universal kredibilitas karbon yang diakui internasional, menerapkan sistem MRV yang kuat, serta memastikan pembagian manfaat yang adil bagi masyarakat lokal.
Pemerintah juga mewajibkan penerapan social safeguards, mekanisme keluhan, dan perlindungan keanekaragaman hayati sebagai bagian tak terpisahkan dari penyelenggaraan proyek.
Ia menambahkan bahwa keterlibatan pemerintah dalam seluruh proses—sejak pra-aplikasi hingga persetujuan penerbitan—dirancang untuk mengurangi ketidakpastian, mempercepat waktu proses, dan menekan biaya proyek tanpa mengurangi kualitas.
Pendekatan ini juga dimaksudkan untuk mencegah tumpang tindih antara sistem perizinan kehutanan dan mekanisme pasar karbon sukarela yang selama ini kerap menimbulkan konflik yurisdiksi atau klaim ganda.
Menurutnya, pembukaan akses ke pasar karbon menjadi momentum untuk memperkuat ekosistem karbon nasional. Selain mendorong penyediaan data dan teknologi pengukuran yang lebih akurat, pasar karbon juga memungkinkan peningkatan standar validator dan verifikator, serta membuka ruang inovasi metodologi. Pemerintah tetap mengakui standar internasional untuk menjaga integritas, tetapi pada saat yang sama memanfaatkan proses tersebut untuk mempercepat pembangunan kapasitas nasional.
Laksmi menutup paparannya dengan menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen memastikan seluruh mekanisme berbasis karbon benar-benar mendukung tujuan perlindungan hutan, pengurangan emisi, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adat serta kelompok rentan. “Instrumen karbon harus menyentuh sasaran yang tepat. Pemerintah hadir untuk memastikan manfaat itu sampai kepada mereka yang menjaga hutan,” ujarnya.
Untuk diketahui, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No 110/2025 yang mengatur tentang nilai ekonomi karbon, termasuk di sektor kehutanan.
Saat ini Kemenhut sedang menyelaraskan sejumlah regulasi utama, meliputi revisi Permen 7/2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Kehutanan, Permen 8/2021 tentang Penataan Hutan dan Perencanaan Pengelolaan Hutan, Permen 9/2021 tentang Perhutanan Sosial, serta aturan baru pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi. ***




