
Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Ecobiz.asia – Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 tentang “Luas Tanaman Perkebunan menurut Provinsi” memberi gambaran kontras: kebun kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,005 juta hektare, sedangkan kebun kelapa hanya 3,315 juta hektare. Rasio 1:5 ini terasa janggal, mengingat kelapa sering disebut tanaman identitas bangsa. Lagu “Rayuan Pulau Kelapa” karya Ismail Marzuki bahkan menegaskan citra Indonesia sebagai negeri nyiur melambai. Namun, kenyataan menunjukkan kelapa justru tersisih di tanahnya sendiri.
Padahal, secara ekologis, kelapa memiliki habitat yang sangat luas. Pohon ini tumbuh optimal di dataran rendah hingga ketinggian 450 meter di atas permukaan laut, dengan suhu hangat, curah hujan cukup, dan tanah berpasir atau berliat dengan drainase baik. Jika ditarik dari garis pantai ke daratan sejauh 100 kilometer sesuai syarat ketinggian, potensi habitat kelapa di Indonesia mencapai 990 juta hektare. Angka ini sangat kontras dengan luas kebun kelapa yang hanya 3,315 juta hektare.
Tidak mengherankan jika Menteri Pertanian Amran Sulaiman mendorong hilirisasi kelapa. Saat ini ekspor kelapa mentah menghasilkan sekitar Rp26 triliun. Namun, jika diolah menjadi produk bernilai tambah seperti santan kelapa atau virgin coconut oil (VCO), nilainya bisa meningkat hingga 100 kali lipat. Permintaan global terhadap kelapa pun terus naik, seiring pergeseran pola pangan di India, Eropa, dan Tiongkok.
Data terbaru menunjukkan harga kelapa kupas di Pasar Induk Kramat Jati sempat mencapai Rp20.000 per butir pada April 2025, bahkan ada yang menjual hingga Rp25.000. Kini harganya menurun, tetapi masih relatif tinggi dengan rata-rata Rp14.435 per butir. Untuk ekspor, Tiongkok menjadi pasar utama kelapa Indonesia dengan porsi 17,42 persen atau setara dengan 228.947 dolar AS, sekitar Rp3,74 miliar.
Kontras dengan kelapa, kelapa sawit berkembang pesat. Dengan luas kebun lebih dari 16 juta hektare, Indonesia dan Malaysia kini menjadi produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia. Tanaman sawit sebenarnya bukan asli kawasan ini, melainkan berasal dari Afrika Barat dan Tengah. Meski begitu, kontribusinya terhadap devisa negara sangat signifikan.
Pada 2021, Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi menyebut neraca perdagangan Indonesia surplus hingga 35,34 miliar dolar AS, angka tertinggi sejak 2004. Lima komoditas utama penyumbangnya adalah batu bara, CPO dan turunannya, besi dan baja, otomotif dan suku cadang, serta elektronik. Dari daftar itu, CPO menempati posisi istimewa karena menyumbang sekitar 35–40 persen pasar minyak nabati dunia. Ekspor CPO tahun itu diperkirakan menembus lebih dari 20 miliar dolar AS, naik 155 persen dibanding tahun sebelumnya.
Data BPS pada semester I/2025 mencatat nilai ekspor CPO dan turunannya mencapai 11,43 miliar dolar AS, naik hampir 25 persen dibanding periode sama 2024. Volume ekspor juga meningkat dari 10,72 juta ton menjadi 11 juta ton. Namun, di balik prestasi itu, terdapat masalah serius: 3,1 hingga 3,4 juta hektare perkebunan sawit berada di kawasan hutan secara ilegal, termasuk di hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi terbatas.
Isu keberlanjutan semakin mendesak karena Uni Eropa memberlakukan regulasi anti-deforestasi (EUDR), yang berpotensi melarang CPO dari sumber tak lestari masuk ke pasar mereka. Di sisi lain, tidak semua perkebunan sawit Indonesia tersertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). Hingga Februari 2025, baru 6,2 juta hektare yang tersertifikasi, mencakup 1.157 pelaku usaha, mayoritas perusahaan swasta.
Alih fungsi hutan menjadi kebun sawit berdampak langsung pada lingkungan. Di Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan, banjir, longsor, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi fenomena berulang. Perkebunan sawit di lahan gambut bahkan menjadi salah satu sumber emisi karbon terbesar, terutama saat karhutla terjadi.
Jika dibandingkan dengan ekspor CPO, nilai ekspor kelapa mentah Indonesia masih jauh tertinggal. Nilai 26 triliun rupiah tidak sebanding dengan 11,43 miliar dolar AS yang diperoleh dari CPO hanya dalam enam bulan pertama 2025. Karena itu, pengembangan kelapa tidak cukup hanya mengandalkan hilirisasi, tetapi juga peningkatan produksi. Peremajaan kebun tua dengan varietas unggul seperti kelapa hibrida akan meningkatkan produktivitas signifikan. Kelapa hibrida mampu menghasilkan 6–7 ton kopra per hektare per tahun pada usia 10 tahun, jauh lebih tinggi dibanding kelapa dalam yang hanya 6.500–7.000 butir per hektare per tahun.
Selain intensifikasi, ekstensifikasi membuka peluang lebih besar. Dengan garis pantai sepanjang 99 ribu kilometer, Indonesia memiliki potensi lahan hingga 990 juta hektare yang sesuai untuk kelapa. Jika hanya satu persen saja dimanfaatkan, tambahan kebun baru bisa mencapai 9,9 juta hektare, melipatgandakan luas kebun kelapa yang ada sekarang.
Persoalannya adalah kesiapan pemerintah. Peningkatan produksi membutuhkan perencanaan matang, pendanaan besar, dan SDM yang kompeten. Di tengah keterbatasan APBN, apakah negara mampu mendorong kebun kelapa baru secara masif? Indonesia sebenarnya kaya sumber daya alam yang dapat diperbarui. Yang dibutuhkan adalah konsistensi kebijakan, dukungan pendanaan, dan keberanian menyeimbangkan dominasi sawit dengan kebangkitan kelapa sebagai komoditas strategis. ***