Ecobiz.asia — Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) menegaskan perannya dalam mendorong transisi energi rendah karbon melalui pengembangan kredit karbon dari proyek teknologi dan berbasis alam, sebagai bagian dari strategi perusahaan mendukung target net zero pemerintah.
Manager Strategic Partnership & Marketing Pertamina NRE, Muhammad Taufik, mengatakan Pertamina kini mengembangkan bauran strategi yang mencakup efisiensi energi, dekarbonisasi operasi, dan ekspansi bisnis energi bersih.
Dia mengatakan Pertamina menargetkan penurunan emisi jangka pendek sebesar 4 juta ton CO₂ pada 2030, sehingga unit NRE mempercepat pengembangan portofolio kredit karbon.
“Kami berasal dari industri fosil dan tetap berkewajiban memastikan ketahanan energi nasional. Namun pada saat yang sama, kami harus membangun bisnis rendah karbon sambil menurunkan emisi dari operasi yang ada,” ujar Taufik dalam pada Global Carbon Summit Indonesia 2025 yang diselenggarakan Ecobiz Asia, di Jakarta, 26–27 November 2025.
Pertamina NRE saat ini memproduksi kredit karbon dari PLTP Lahendong, Sulawesi Utara, dan pembangkit biogas di Sumatra Utara. Dua proyek tersebut telah menghasilkan dan menjual seluruh kredit yang tersedia di Bursa Karbon Indonesia sejak 2023, dengan total penjualan hampir 900.000 ton CO₂.
Taufik mengatakan permintaan kredit karbon untuk sektor pelayaran, aviasi, hingga perbankan terus meningkat. “Kami tidak punya cukup stok kredit untuk memenuhi minat pasar. Ini menunjukkan pasar ada, dan yang dibutuhkan adalah kredit berkualitas tinggi,” ujarnya.
Pertamina juga menyiapkan pipeline baru, termasuk pengembangan proyek berbasis alam bersama Perhutani di Kalimantan serta proyek pengolahan sampah menjadi biogas dan biomethane di Jawa Barat yang bekerja sama dengan pemerintah daerah dan Hindai. Perusahaan juga terus menilai peluang baru untuk menjamin pasokan kredit internal maupun eksternal.
Dalam peta jalan dekarbonisasi jangka panjang, Pertamina menerapkan efisiensi energi, penurunan emisi dari rantai operasi, penggantian mesin lama, dan penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS) di sektor hulu. Namun Taufik menegaskan kontribusi teknologi ini tetap tidak cukup tanpa ekspansi energi bersih dan kredit karbon.
Pertamina NRE juga mendukung program nasional bioetanol dan mencari sumber bahan baku berkelanjutan untuk mengurangi impor bahan bakar transportasi sekaligus menekan emisi sektor tersebut. “Kami aktif mencari solusi energi baru, termasuk bioetanol, untuk mendukung dekarbonisasi sektor transportasi,” kata Taufik.
Pertamina mencatat minat tinggi dari sektor aviasi dan maritim yang membutuhkan kredit karbon yang kompatibel dengan skema internasional, termasuk Uni Eropa. Untuk itu, kata Taufik, kualitas kredit akan menjadi kunci.
“Kami perlu memastikan kredit yang kami hasilkan diterima pasar dengan harga yang tepat. Kualitas adalah prioritas,” ujarnya.
Taufik menekankan bahwa seluruh langkah ini merupakan fondasi peran Pertamina dalam mendorong ekonomi rendah karbon Indonesia tanpa mengorbankan ketahanan energi nasional. ***


