Ecobiz.asia – Indonesia menjalin kerja sama dengan Norwegia dalam kerangka Pasal 6.2 Perjanjian Paris untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung.
Skema serupa juga tengah dirancang dengan Jepang, sebagai bagian dari upaya pemerintah memperkuat pendanaan transisi energi sekaligus mencapai target penurunan emisi karbon.
Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon (PPITKNEK) Kementerian Lingkungan Hidup, Ary Sudijanto, menjelaskan bahwa kerja sama ini akan membuka jalur investasi asing sekaligus menciptakan mekanisme pembagian kredit karbon antara Indonesia dan negara mitra.
“Dengan skema Jepang maupun Norwegia, mereka akan berinvestasi di Indonesia. Dari pengurangan emisi karbon yang dihasilkan, kreditnya akan dibagi antara investor dengan Indonesia yang tetap menjaga kontribusi domestiknya,” kata Ary di Jakarta, Senin (25/8/2025).
Menurut Ary, Norwegia akan memulai dukungannya melalui proyek PLTS terapung. Skema ini dinilai penting untuk menutup celah keekonomian, karena pembangunan PLTS terapung masih belum sepenuhnya layak secara finansial jika hanya mengandalkan investasi energi semata.
“Secara keekonomian, PLTS terapung masih kurang. Apa yang dilakukan dengan Norway adalah mencoba menambal gap. Dengan tambahan nilai dari karbon, proyek itu bisa menjadi economically viable,” jelasnya.
Ary menyebut nilai kerja sama dengan Norwegia untuk PLTS terapung diperkirakan mencapai 12 juta dolar AS hingga 2035. Besaran dukungan karbon nantinya akan disesuaikan dengan kompleksitas proyek, termasuk lokasi yang jauh atau biaya konstruksi yang tinggi.
Pemerintah menilai skema ini dapat mempercepat implementasi energi bersih di Indonesia, sekaligus memperkuat posisi negara dalam memanfaatkan mekanisme perdagangan karbon internasional.
“Tujuannya agar proyek energi terbarukan tidak hanya bisa dilaksanakan, tetapi juga mendukung target nasional kita terutama di bidang energi,” tambah Ary. ***