Ecobiz.asia — Indonesia menampilkan keberhasilan program rehabilitasi mangrove berskala besar sebagai model solusi iklim berbasis alam dalam Konferensi Perubahan Iklim COP30, dengan menekankan pentingnya inovasi pembiayaan untuk menjaga keberlanjutan restorasi ekosistem jangka panjang.
Berbicara pada sesi yang diselenggarakan Japan International Cooperation Agency (JICA) di Paviliun Jepang, Kamis (13/11/2025), Direktur Rehabilitasi Mangrove Kementerian Kehutanan, Ristianto Pribadi, memaparkan capaian Indonesia sebagai negara pemilik mangrove terluas di dunia.
Dengan luas 3,44 juta hektare atau sekitar 23 persen dari total ekosistem mangrove global, Indonesia melihat tanggung jawab ekologis sekaligus peluang ekonomi dalam pemulihan ekosistem pesisir.
Ristianto menjelaskan bahwa mangrove memiliki nilai ekologis dan ekonomi yang sangat penting. Ia mencontohkan bahwa dua hingga lima hektare mangrove mampu menyaring polutan yang dihasilkan satu hektare tambak ikan, menunjukkan fungsinya sebagai penyaring alami yang efektif.
Selain itu, mangrove menyimpan karbon tiga hingga lima kali lebih banyak dibandingkan hutan tropis daratan dan memberikan perlindungan pesisir yang biayanya lima kali lebih murah dibandingkan pembangunan infrastruktur keras.
Ekosistem ini juga menjadi habitat bagi lebih dari 3.000 spesies ikan dan menopang ketahanan pangan serta mata pencaharian jutaan masyarakat pesisir.
Namun, menurut Ristianto, model pendanaan konvensional tidak selalu memadai untuk mendukung rehabilitasi mangrove dalam skala besar. Karena itu, Indonesia mendorong inovasi pembiayaan melalui kombinasi blended finance, instrumen pendanaan iklim, dan kemitraan filantropi.
Pendekatan ini memungkinkan pendanaan digerakkan lebih cepat, bersifat fleksibel untuk jangka panjang, berbasis kinerja, dan memberi akses langsung kepada masyarakat.
Ia menekankan pentingnya pembiayaan adaptif jangka panjang selama lima hingga tujuh tahun, tata kelola multipihak yang efektif, pengembangan ekonomi masyarakat yang terintegrasi dengan restorasi, manajemen adaptif berbasis sains, kejelasan hak atas lahan, serta penguatan jejaring berbagi pengetahuan global.
Pendekatan Indonesia, lanjutnya, dibangun melalui kolaborasi lima kelompok utama: pemerintah sebagai regulator, mitra internasional, komunitas lokal, lembaga riset, dan organisasi non-pemerintah.
“Upaya ini menunjukkan bahwa restorasi mangrove dapat menjadi investasi iklim strategis, memberikan dampak ekologis, memperkuat ketahanan ekonomi, dan memastikan inklusi sosial,” ujar Ristianto. ***




