HGU, Pelepasan Hutan, dan Benang Kusut Reforma Agraria

MORE ARTICLES

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Ecobiz.asia – Tidak semua pelepasan kawasan hutan berakhir menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Ada pula pelepasan untuk pemukiman, seperti di Dusun Pancar, Banyuwangi, Jawa Timur, seluas 152 hektare hutan produksi yang diubah menjadi lahan permukiman dan pertanian. Contoh lain adalah pelepasan kawasan hutan produksi untuk kawasan ibu kota negara (KIKN) di Kalimantan Timur seluas 41.493 hektare. Namun, hampir 80 persen HGU berasal dari kawasan hutan.

HGU identik dengan perkebunan sawit, karet, teh, tebu, dan komoditas lainnya, karena memerlukan lahan luas dan kompak yang dikelola korporasi, baik BUMN maupun swasta. Pada masa kolonial Belanda, sudah dikenal adanya kluster perkebunan sawit, karet, teh, dan kopi, meskipun status lahannya belum jelas.

Setelah Indonesia merdeka pada 1945, perkebunan besar peninggalan Belanda menjadi milik negara yang dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Pengaturan lahan negara diatur melalui UU No. 5/1960 tentang Pokok Agraria untuk lahan di luar kawasan hutan, dan UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan untuk lahan dalam kawasan hutan. Sejak itu dikenal status lahan HGU yang digunakan untuk kepentingan ekonomi, terutama perkebunan. HGU juga berlaku untuk usaha peternakan dan perikanan dengan luasan minimal 5 hektare, berjangka 25–35 tahun.

Read also:  UMBRA: PR 110/2025 Reinvents Indonesia’s Carbon Market Framework

Pada awal Orde Baru, pemerintah membuka keran investasi asing untuk mengembangkan perkebunan besar, seperti sawit dan tebu, melalui UU No. 1/1970 tentang Penanaman Modal Asing. Dari sinilah dimulai praktik alih fungsi hutan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan menjadi HGU.

Pelepasan Kawasan Hutan: Pintu Masuk HGU

Saat ini, kebutuhan lahan luas untuk pembangunan di luar kehutanan—seperti food estate, sawit, atau tebu—hanya bisa dipenuhi lewat pelepasan kawasan hutan. Regulasi yang mengaturnya antara lain UU No. 41/1999, PP No. 104/2015 tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan, PP No. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, serta Permen LHK No. P.96/2018 jo. P.50/2019 tentang pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).

Pelepasan kawasan HPK untuk perkebunan tidak diberikan sekaligus, tetapi bertahap. Untuk sawit, luas maksimal 60.000 hektare per grup perusahaan, dengan pelepasan bertahap 20.000 hektare. Untuk tebu, maksimal 100.000 hektare dengan pelepasan bertahap 25.000 hektare. Evaluasi pemanfaatan kawasan dilakukan sebelum tahap pelepasan berikutnya.

Read also:  Menghitung Potensi Perdagangan Karbon Indonesia di Era Perpres 110/2025

Sesuai PP No. 23/2021, pemegang izin pelepasan kawasan hutan wajib menyelesaikan tata batas dan membayar PNBP dalam waktu satu tahun. Setelah clean and clear, status lahan dapat diproses menjadi HGU oleh Kementerian ATR/BPN.

Penyimpangan Proses Pelepasan

Sejak reformasi 1999, kewenangan daerah yang terlalu luas membuka celah penyimpangan. Banyak bupati mengeluarkan rekomendasi pelepasan kawasan hutan untuk meningkatkan PAD, meskipun persetujuan tetap di tangan Menteri Kehutanan.

Kasus Bupati Indragiri Hulu (1999–2008), Raja Thanrim Rahman, menunjukkan penyalahgunaan izin. Ia menerbitkan izin usaha perkebunan seluas 37.095 hektare hanya dengan rekomendasi, padahal syarat sah harus ada pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan serta HGU dari ATR/BPN. Di Kalimantan Tengah, bahkan ada perkebunan sawit yang memiliki HGU tanpa izin pelepasan kawasan hutan. Perkebunan ilegal seperti ini diperkirakan mencapai 3,1–3,4 juta hektare.

Pada 2022, pemerintah mencabut 2.300 izin pertambangan dan kehutanan yang tidak produktif, termasuk 1,788 juta hektare izin perkebunan sawit milik 137 perusahaan di 19 provinsi.

HGU Terlantar

Pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid tentang “tanah nganggur” menyoroti masalah HGU terlantar. Faktanya, masalah ini sudah terjadi sejak lama dan belum tuntas.

Read also:  EUDR di Persimpangan: Saatnya Uni Eropa Berani Memihak Petani Kecil dan Keadilan Global

HGU diatur dalam UU No. 5/1960 tentang Agraria dan PP No. 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, dan Pendaftaran Tanah. HGU berlaku 25–35 tahun, bisa diperpanjang, dan dapat dijadikan jaminan utang. Namun, bila ditelantarkan, haknya dapat dicabut.

Data Kementerian LHK mencatat sejak 1985–2017, luas pelepasan hutan menjadi HGU mencapai 6,7 juta hektare, dengan stok HPK 12,9 juta hektare yang masih tersedia. Sayangnya, banyak perkebunan sawit membuka hutan secara ilegal, tanpa pelepasan resmi, tetapi tetap memperoleh HGU. Mantan Menteri ATR Sofyan Djalil bahkan mengakui keterlibatan stafnya dalam penyimpangan tersebut.

Menurut Sofyan, HGU yang habis masa sewanya atau ditelantarkan bisa diambil alih negara dan didistribusikan melalui program reforma agraria (TORA). Pemerintah menargetkan 4,5 juta hektare tanah TORA, termasuk dari HGU terlantar.

Data Kementerian ATR/BPN menunjukkan, dari 2,72 juta hektare HGU terdaftar, sekitar 1,19 juta hektare (1.172 bidang) terindikasi terlantar. Kerugian negara bukan hanya hilangnya penerimaan PNBP, tetapi juga PBB dan retribusi lain. Maka, wajar jika HGU terlantar segera dicabut dan dialihkan kepada pihak yang bersedia mengelola secara produktif. ***

TOP STORIES

MORE ARTICLES

EUDR di Persimpangan: Saatnya Uni Eropa Berani Memihak Petani Kecil dan Keadilan Global

Oleh: Diah Suradiredja (Pemerhati perdagangan komoditas berkelanjutan) Ecobiz.asia - EUDR kini berada pada titik paling rapuh sejak pertama kali dirancang. Kebijakan yang semula diagungkan sebagai...

Menghitung Potensi Perdagangan Karbon Indonesia di Era Perpres 110/2025

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Penulis buku: Seputar hutan dan kehutanan: masalah dan solusi, Membangun hutan & menjaga lingkungan: masalah dan solusi) Ecobiz.asia - Menko Bidang Kemaritiman...

UMBRA: PR 110/2025 Reinvents Indonesia’s Carbon Market Framework

Ecobiz.asia - The issuance of Presidential Regulation (PR) No. 110/2025 marks a major policy shift in Indonesia’s carbon market landscape. The regulation introduces new...

Dari Hutan ke Diplomasi: Bagaimana CEPA Mengubah Wajah Sawit Indonesia

  Oleh: Diah Suradiredja (Peneliti kebijakan dan kandidat doktor di bidang tata kelola lingkungan dan perdagangan internasional) Ecobiz.asia - Perjanjian perdagangan antara Uni Eropa dan Indonesia...

Transformasi Penyuluhan Kehutanan di Tengah Wacana Penarikan Penyuluh ke Pusat

Oleh: Dr. Eka W. Soegiri Ecobiz.asia - Wacana penarikan penyuluh kehutanan dari daerah ke pusat saat ini tengah mencuat. Gagasan ini mencerminkan keinginan untuk...

TOP STORIES

Indonesia Sets Two Issuance Workflows for Forest Carbon Credits, Ensures Project Integrity

Ecobiz.asia — Indonesia’s Ministry of Forestry has confirmed that forest carbon credits can now be issued through two distinct issuance workflows: the national Greenhouse...

Ada Dua Jalur Penerbitan Kredit Karbon Kehutanan, Kemenhut Pastikan Integritas Proyek

Ecobiz.asia — Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menegaskan bahwa penerbitan kredit karbon di sektor kehutanan kini dapat dilakukan melalui dua mekanisme: Sistem Perdagangan Emisi Gas Rumah...

Revisi UU Kehutanan: Menjawab Tantangan Reforma Agraria

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Ecobiz.asia - Pada Rabu (24/9/2025), DPR RI menerima aspirasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)...

Indonesia Links Carbon Finance to Forest Recovery Plan in Push to Curb Flood Risks

Ecobiz.asia – Indonesia’s Forestry Ministry said on Friday it is accelerating forest and land rehabilitation efforts, partly by tapping voluntary carbon markets, as severe...

Mubadala Energy–PLN EPI Sepakati Pemanfaatan Gas Andaman untuk Perkuat Transisi Energi Nasional

Ecobiz.asia — Mubadala Energy dan PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) menandatangani Heads of Agreement (HoA) untuk pemanfaatan gas dari Laut Andaman sebagai...