Ecobiz.asia — Kehadiran Sistem Registri Unit Karbon (SRUK) dalam kerangka Peraturan Presiden 110/2025 membuat Indonesia semakin percaya diri memantapkan diri sebagai pusat perdagangan karbon berintegritas tinggi di tingkat global. SRUK menjadi bagian fondasi utama untuk tata kelola transaksi karbon yang transparan, akuntabel, dan kompatibel dengan standar internasional.
Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan Kementerian Kehutanan, Ilham saat menyampaikan keynote speech dalam sesi diskusi di Paviliun Indonesia pada COP30 UNFCCC di Belém, Brasil menjelaskan bahwa SRUK dirancang sebagai registri nasional yang mengelola dua instrumen sekaligus, yakni allowance dan kredit karbon.
Berbeda dari SRN-PPI, SRUK mengatur allowance sebagai hak kuota berbasis izin, bukan sertifikat, sementara kredit karbon tetap menjadi unit yang dapat diperdagangkan.
Selain itu, SRUK dikembangkan dengan fitur transparansi, penelusuran menyeluruh (traceability), operasi real-time, sistem permanen berbasis immutable ledger, hingga arsitektur terdesentralisasi yang memperkuat keamanan data.
Ilham, juga menekankan pentingnya interoperabilitas, agar sertifikat internasional dapat registered di SRUK dan tersambung dengan standar Artikel 6, registri internasional, maupun platform pasar karbon global.
“SRUK akan memastikan proses yang efisien, kredibel, serta memiliki audit trail yang jelas. Sistem ini juga dibangun dengan struktur tata kelola yang memungkinkan lembaga pemerintah bekerja dengan alur persetujuan yang terstandar,” ujar Ilham pada sesi bertajuk “Navigating Indonesia’s Carbon Market: Challenges, Opportunities and the Road Ahead”, Sabtu (15/11/2025).
Turut hadir menjadi panelis pada sesi tersebut Lufaldy Ernanda (dari Otoritas Jasa Keuangan), Andrea Bonzanni (Internatipnal Emissions Trading Association), Lorna Ritchie (Integrity Council for the Voluntary Carbon Market), Jamey Mulligan (Amazon), dan Kei Watanabe (Musi Hutan Persada). Diskusi dipandu Natalia Rialucky dari Fairatmos.
Ilham menambahkan bahwa penguatan SRUK berjalan paralel dengan penyusunan regulasi turunan Perpres 110/2025 yang bertujuan menghasilkan kredit karbon kehutanan yang berintegritas tinggi dan selaras dengan standar internasional.
Ilham menyebut rancangan peraturan menteri kehutanan sudah hampir final, namun pemerintah masih membuka ruang konsultasi untuk memastikan seluruh ketentuan sesuai metodologi global.
“Sebelum aturan ini dirilis, kami ingin seluruh pemangku kepentingan, termasuk dari internasional, memberikan masukan,” katanya.
Menurut Ilham, regulasi baru yang disiapkan tersebut menetapkan lima pilar kualitas proyek karbon: penyusunan dokumen proyek (PDD) yang terintegrasi dengan kewajiban perencanaan, penerapan prinsip universal sesuai standar internasional, sistem assurance untuk menjamin keberlangsungan proyek, pembagian manfaat bagi masyarakat guna mencegah konflik sosial maupun tenurial, serta perlindungan keanekaragaman hayati sebagai pembeda utama dari proyek berkualitas rendah.
Ilham menegaskan bahwa fondasi regulasi dan SRUK akan menentukan arah pasar karbon Indonesia di masa mendatang.
“Apa yang kita bangun hari ini adalah fondasi masa depan—di mana hutan menjadi aset ekonomi, masyarakat lokal menjadi aktor utama, dan Indonesia muncul sebagai hub perdagangan karbon global,” kata Ilham.
Ia menekankan bahwa kolaborasi pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat adat, komunitas lokal, dan mitra internasional diperlukan agar nilai ekonomi karbon tidak hanya menjadi instrumen pasar, tetapi juga wahana keberlanjutan, keadilan, dan kesejahteraan bersama. ***




