
Oleh: Dr. Pernando Sinabutar (Bekerja di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIX Pekanbaru)
Ecobiz.asia – “Tanah ini adalah tanah leluhur yang diwariskan kepada kami sejak 1970-an. Kami tinggal di sini, bekerja di sini, tetapi baru tahu belakangan bahwa tanah ini ternyata tanah negara,” tutur Frans Rondonuwu, warga Desa Suhuyon, Kecamatan Touluaan Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. Tanah seluas 428 m² yang dikuasainya kini digunakan sebagai tempat tinggal.
Kisah serupa diungkapkan Aneke S. Wawointana, warga desa yang membangun gereja GMIM di atas tanah hibah sejak 1978. Di Desa Suhuyon, sekitar 67 warga menguasai lahan di kawasan Hutan Produksi Terbatas Gunung Surat, yang berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 250/Kpts-II/UM/1984 masih berstatus kawasan hutan hingga 2014. Lahan tersebut digunakan untuk rumah tinggal, kebun kelapa, jalan permukiman, sekolah, dan rumah ibadah.
Cerita yang sama terdengar di Desa Rantau Bertuah, Kabupaten Siak, Riau. Arisman dan warga lain telah mengelola kebun kelapa sawit seluas rata-rata dua hektare sejak 1993–1994, warisan dari program transmigrasi. “Kebun ini awalnya ditanami karet, lalu kami ganti menjadi sawit sejak 1998. Lewat program pemerintah, kebun ini akhirnya bersertifikat,” katanya. Sekitar 313 bidang tanah dengan luas total 629 hektare berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Minas.
Kisah lain datang dari nelayan Suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Mereka membangun rumah di atas laut dengan menancapkan kayu atau batu di tepi pantai. Sebanyak 6.437 nelayan menerima sertifikat tanah gratis dari Presiden Joko Widodo pada 2022 setelah sebagian kawasan Taman Nasional Wakatobi dialihfungsikan menjadi bukan kawasan hutan berdasarkan SK Menteri LHK No. 425/MENLHK/SETJEN/LA.2/11/2020. “Kami sudah lama menunggu pengakuan ini. Sekarang rumah kami diakui negara,” kata seorang nelayan.
Dari Nawacita hingga Asta Cita
Kisah-kisah ini menegaskan peliknya persoalan kepastian hukum atas tanah di kawasan hutan. Banyak masyarakat turun-temurun menggantungkan hidup di atas tanah yang secara hukum masih tercatat sebagai kawasan hutan negara.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa masyarakat perlu diberi ruang dan perlindungan hukum untuk menguasai dan memiliki tanah di kawasan hutan sesuai peraturan perundangan. Hal itu menjadi bagian dari Asta Cita: membangun dari desa dan bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan. Targetnya, sekitar 4,1 juta hektare kawasan hutan akan dilepaskan menjadi sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Upaya ini sebenarnya telah dimulai sejak era Nawacita Presiden Joko Widodo melalui Perpres No. 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Regulasi ini dioperasionalkan lewat Permenko Perekonomian No. 3/2018 tentang inventarisasi dan verifikasi (Inver PTKH), kemudian diperkuat dengan UU Cipta Kerja (UU No. 11/2020, jo. UU No. 6/2023) dan turunannya, PP No. 23/2021 serta Permen LHK No. 7/2021 tentang Perencanaan Kehutanan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.
Hingga pemerintahan Prabowo–Gibran, program ini dilanjutkan melalui Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH), yang menjadi instrumen penting reforma agraria.
Capaian Nyata di Lapangan
Sejak Perpres 88/2017 diberlakukan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan seluruh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) telah bekerja keras. Hingga kini, 3,04 juta hektare atau 74,18% dari target 4,1 juta hektare kawasan hutan telah diubah batasnya menjadi sumber TORA. Dari luasan itu, sekitar 277.621 bidang tanah seluas 373.964 hektare telah disertifikasi untuk 211.483 penerima. Tahun 2025, target tambahan mencapai hampir 12.000 hektare untuk lebih dari 19.000 penerima TORA baru.
Selain itu, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan mencatat bahwa dari 83.462 desa di Indonesia, sebanyak 25.468 desa memiliki kawasan hutan. Sekitar 5.378 desa memiliki permukiman di dalam kawasan hutan. Dari jumlah itu, 2.614 desa dengan luas 65.971 hektare telah dikeluarkan dari kawasan hutan, sementara 2.614 desa lainnya masih menunggu penyelesaian.
Tantangan Implementasi
Meski hasilnya nyata, implementasi PPTPKH tidak mudah. Banyak hambatan teknis dan administratif di lapangan. Masyarakat yang menguasai lahan di kawasan hutan harus mengajukan permohonan melalui kepala desa, diteruskan ke camat, lalu ke bupati/wali kota sebelum diverifikasi oleh tim Inver PPTPKH. Setelah proses panjang verifikasi dan penetapan, Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan (SK) perubahan batas kawasan hutan—dikenal sebagai “SK Biru”—yang menjadi dasar Kementerian ATR/BPN menerbitkan sertifikat hak milik.
Namun, pemenuhan kriteria di lapangan tidak selalu mudah. Sebagian warga tidak tinggal di lokasi, ada yang menguasai lebih dari lima hektare, atau lahan yang dikelola merupakan bagian dari plasma korporasi dan koperasi. Kondisi ini membuat penyelesaian bersifat sporadis dan memerlukan pendekatan berbeda di setiap wilayah.
Contoh di Riau menunjukkan bahwa banyak bidang tidak memenuhi seluruh kriteria formal. Kendati demikian, proses tetap dapat berjalan dengan penyesuaian lapangan agar prinsip keadilan dan kepastian hukum tetap dijaga.
Harapan dan Arah ke Depan
Terlepas dari tantangan itu, kisah di Suhuyon, Rantau Bertuah, dan Wakatobi menunjukkan bahwa penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan bukan hal mustahil. Kebijakan yang terkesan rumit—dari UU hingga peraturan teknis—telah terbukti implementatif bila dijalankan dengan komitmen.
Kerja keras Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan seluruh BPKH di Indonesia perlu segera direspons oleh Kementerian ATR/BPN dengan percepatan sertifikasi aset. Dukungan pemerintah daerah juga penting agar masyarakat segera memperoleh kepastian hukum atas tanah yang telah mereka kuasai secara turun-temurun.
Perlahan tapi pasti, PPTPKH menunjukkan bahwa penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dapat dilakukan secara adil dan legal. Dengan target pelepasan 4,1 juta hektare kawasan hutan menjadi sumber TORA, negara bukan hanya menata ruang, tetapi juga menegakkan keadilan agraria bagi masyarakat yang telah lama hidup dari hutan. ***