Ecobiz.asia – Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mendorong pembentukan klaster-klaster komoditas regional guna mengoptimalkan potensi perhutanan sosial.
Upaya ini ditujukan untuk memperkuat rantai pasok komoditas unggulan dari berbagai daerah sekaligus menjaga keberlanjutan hutan melalui pengelolaan berbasis masyarakat.
Plt. Direktur Jenderal Perhutanan Sosial, Dr. Mahfudz, menjelaskan bahwa pendekatan klaster memungkinkan masyarakat hutan tidak hanya menjaga kelestarian kawasan, tetapi juga mendapatkan kepastian pasar bagi hasil produksinya.
“Misalnya di Maluku–Papua, kita dorong klaster pala. Dulu Indonesia punya sejarah panjang ekspor pala, dan sekarang kita ingin menghidupkannya kembali. Dengan klaster, ada jaminan pasokan berkelanjutan untuk ekspor,” ujar Mahfudz di sela puncak Festival Perhutanan Sosial Nasional (PeSoNa) 2025 di Jakarta, Kamis (21/8).
Menurut Mahfudz, nilai transaksi ekspor pala yang dicatat salah satu kelompok usaha per semester pertama 2025 bahkan sudah mencapai 2 juta dolar AS hanya dari sebagian kecil potensi yang ada. “Kalau skalanya diperluas, kontribusi ekonomi bisa jauh lebih besar,” tambahnya.
Selain pala, klaster komoditas juga akan dikembangkan untuk kopi, kakao, hingga tanaman energi. Indonesia saat ini menempati peringkat keempat produsen kopi dunia. Dengan pembentukan klaster kopi di Sumatra Utara, Aceh, dan Bengkulu, Kemenhut menargetkan peringkat Indonesia bisa naik ke posisi kedua dunia.
Hingga kini, distribusi akses kelola perhutanan sosial telah mencapai 8,32 juta hektare, meliputi 11.065 SK dengan penerima manfaat sebanyak 1,42 juta kepala keluarga. Dari luasan tersebut, telah terbentuk 15.754 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).
“Perhutanan sosial bukan hanya soal menjaga hutan, tetapi juga membangun ekonomi rakyat. Dengan klaster, KUPS bisa lebih mudah terhubung dengan offtaker dan industri pengolahan, sehingga nilai tambahnya tidak hilang di tengah jalan,” kata Mahfudz.
Klaster juga diarahkan untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi. Sejumlah kelompok masyarakat sudah mengembangkan produk hewani, hortikultura, dan buah-buahan untuk pasar domestik maupun ekspor, seperti pisang dan mangga dari Jawa Barat.
Di sektor energi, Kemenhut mulai mendorong agroforestri berbasis tanaman energi untuk mendukung program co-firing biomassa di pembangkit listrik. “Kayu energi ini harus dekat dengan kantong pembangkit agar efisien. Saat ini masih terbatas di Jawa, tapi akan diperluas ke luar Jawa,” ujar Mahfudz.
Mahfudz menekankan, pengembangan klaster komoditas membutuhkan dukungan lintas sektor. “Kita perlu kerja sama dengan Kementerian Perindustrian, Perdagangan, Tenaga Kerja, Desa, hingga Pariwisata. Tujuannya agar masyarakat tidak berhenti di produksi bahan mentah, tetapi bisa masuk ke industri kecil dan pengolahan,” jelasnya. ***