Ecobiz.asia – Pemerintah Indonesia dan Norwegia menyepakati untuk terus memperkuat kerja sama bidang lingkungan hidup untuk menghadapi ancaman Triple Planetary Crisis, yakni perubahan iklim, pencemaran lingkungan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Demikian dibahas pada pertemuan antara Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurrofiq bersama Wakil Menteri Diaz Hendropriyono dan Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, Andreaz Bjelland Eriksen yang didampingi Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Ruth Krȕger Giverin, di Jakarta, Rabu (19/02/2025).
Dalam pertemuan tersebut, Menteri Hanif menjelaskan komitmen Indonesia dalam menangani isu triple planetary crisis dan terbuka untuk berkolaborasi dengan semua pihak, termasuk Norwegia.
Baca juga: Norwegia Minati Kredit Karbon Indonesia, Lengkapi Skema RBC REDD+
Indonesia telah menjalin kerjasama yang baik dalam bidang iklim dan lingkungan hidup bersama Norwegia. Program kerjasama yang telah dilaksanakan bersama Norwegia antara lain peningkatan cadangan karbon, restorasi lahan gambut, dan konservasi keanekaragaman hayati.
KLH/BPLH mengusulkan beberapa perubahan pada nota kesepahaman sebelumnya, antara lain terkait penurunan emisi, mekanisme kelembagaan, bentuk kemitraan, Contribution Agreement dengan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang mengatur RBC (Result Based Contribution) dari Norwegia untuk mendukung kegiatan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Pada isu perubahan iklim, Indonesia telah membuka perdagangan karbon dalam skala nasional dan internasional yang merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, yakni dalam bentuk Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia (SPEI), pada 20 Januari 2025 yang lalu.
“Perdagangan Karbon Indonesia masih memerlukan pengembangan yang signifikan untuk memberi kontribusi bagi pengelolaan aset negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” kata Menteri Hanif.
Baca juga: Pastikan Tepat Sasaran, Indonesia Kawal Pemanfaatan Dana RBC Norwegia
Indonesia juga membuka komunikasi dan kolaborasi dengan berbagai pihak
untuk mengembangkan dan memastikan ekosistem pasar karbon serta mengimplementasikan strategi Mutual Recognition Agreement.
Selain itu, percepatan suplai kredit baik domestic maupun Internasional sesuai kebutuhan nasional dan internasional guna memenuhi program dekarbonisasi maupun Net Zero Emission (NZE).
Pada kesempatan itu, Menteri Hanif juga menyampaikan posisi Indonesia pada Perundingan 5th INC on Plastic Pollution, bahwa tidak berpihak kepada kelompok manapun dan berpegang teguh kepada kepentingan nasional.
Indonesia memandang ILBI (International Legal Binding Instrument) di tingkat nasional harus mendukung kesiapan nasional dalam melaksanakan komitmen Zero Waste Zero Emission 2050; investasi pengembangan industry plastic yang sustainable; meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan impor; serta peningkatan kualitas pengelolaan sampah, termasuk didalamnya melalui Pendidikan dan public awareness.
Di tingkat internasional, ILBI harus dapat memperkuat tata kelola isu lingkungan global khususnya dalam penanganan isu polusi plastik.
Sementara itu Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, Andreaz Bjelland Eriksen melihat potensi besar untuk kolaborasi dengan Indonesia dalam berbagai bidang yang dibutuhkan. Tidak hanya memangkas emisi, namun juga menyelaraskannya dengan penciptaan lapangan kerja hijau.
“Kami sedang mendalami kolaborasi yang sangat menarik di masa datang dengan Indonesia dan tentunya ingin memperluas kemitraan kami dengan inovasi,” kata dia. ***