Ecobiz.asia — Degradasi hutan Indonesia tercatat mulai menurun berdasarkan statistik kehutanan terbaru. Pada 2022–2023, laju kerusakan hutan tropis mencapai 121 ribu hektare per tahun.
Meski demikian, akademisi menilai tantangan dalam pengelolaan dan pemulihan hutan masih besar.
Wakil Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Widiyatno, menyampaikan hutan berperan penting menjaga stabilitas iklim, ketersediaan air, dan keberlanjutan ekosistem. Dampak perubahan iklim, ujarnya, kini semakin terlihat melalui banjir, perubahan musim, dan penurunan sumber air.
“Keberadaan vegetasi atau hutan berperan penting untuk menjaga keberlangsungan hidup kita dan juga ekosistem,” katanya dalam webinar Cengkerama Iklim: Pohon Kita & Iklim Kita yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup, Kamis (11/12/2025).
Ia memaparkan luas kawasan hutan terestrial Indonesia mencapai 120,4 juta hektare, dan sekitar 125 juta hektare bila memasukkan kawasan konservasi perairan. Rinciannya, hutan produksi 68,8 juta hektare, hutan lindung 29,6 juta hektare, dan hutan konservasi 20,1 juta hektare.
Widiyatno menyoroti penurunan tutupan hutan yang membuat cadangan air semakin terbatas dan menjadi tantangan besar bagi upaya pengelolaan hutan. Ia juga menekankan pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati, mengingat banyak spesies hutan tropis—termasuk tanaman obat—belum dieksplorasi potensinya.
“Jika hutan terus dirusak, potensi tersebut akan hilang. Jenis-jenis ini akan punah ketika hutan itu terdegradasi,” ujarnya.
Menurutnya, restorasi hutan harus dilakukan dengan strategi yang disesuaikan kondisi lahan, baik gambut, pegunungan, dataran rendah, maupun tanah mineral. Ia mencontohkan keberhasilan restorasi Selangor, Malaysia, yang membutuhkan waktu hingga 100 tahun dengan dukungan investasi besar.
Ia menyebut pemahaman terhadap jenis vegetasi dan tipologi kerusakan hutan menjadi kunci untuk menentukan langkah rehabilitasi yang tepat. Di Kalimantan Tengah, intervensi penanaman terbukti mendorong percepatan pertumbuhan pohon hingga diameter 40 cm dalam 20 tahun, jauh lebih cepat dibanding pertumbuhan alami 0,2 cm per tahun.
Percepatan tersebut berdampak pada peningkatan serapan karbon. “Jenis-jenis yang kita kembangkan pada 20 tahun bisa menambah 139 ton karbon per hektare, setara dengan potensi karbon hutan alam primernya,” katanya.
Sementara di Pulau Jawa, ia menilai pendekatan agroforestri menjadi penting karena tekanan penduduk dan penurunan harga pertanian mendorong masyarakat masuk ke kawasan hutan. Tanaman pangan seperti porang, kunyit, dan umbi-umbian dapat ditanam berdampingan dengan pohon hutan.
“Tanaman pangan mengikuti perkembangan hutannya, bukan sebaliknya,” ujarnya. *** (Putra Rama Febrian)


