Ecobiz.asia – Pemerintah cq Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyiapkan skema omnibus regulation untuk menyusun 15 peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE).
Kepala Biro Hukum Kemenhut Supardi menjelaskan, pihaknya memiliki tenggat waktu satu tahun untuk menyusun peraturan pelaksana UU KSDAHE pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU tersebut sah secara formil.
Supardi mengatakan bahwa sebagian peraturan akan digabungkan dalam satu peraturan pemerintah (PP) omnibus agar lebih efisien dan tidak tumpang tindih.
“Total ada 15 PP yang perlu disusun. Kami mempertimbangkan untuk merampingkannya dengan format omnibus agar implementasinya lebih sederhana,” katanya di Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Menurut Supardi, sebagian dari peraturan tersebut merupakan revisi dari PP yang sudah ada, sementara lainnya merupakan aturan baru yang wajib disusun sesuai mandat UU.
Proses perancangan akan melibatkan berbagai kementerian/lembaga teknis sebelum diserahkan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk harmonisasi.
“Kalau bisa selesai sebelum Juli 2026, maka kita sudah sesuai amanat undang-undang. Tapi yang penting kualitasnya tetap dijaga,” ujar Supardi.
Peraturan pelaksana tersebut akan mencakup berbagai aspek, mulai dari pengelolaan kawasan konservasi, perlindungan spesies, pengakuan masyarakat adat, hingga mekanisme pendanaan konservasi.
Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kemenhut Satyawan Pudyatmoko memastikan penyusunan peraturan pelaksana dari UU KSDAHE akan dilakukan secara terbuka dan menjadikan putusan MK, termasuk dissenting opinion, sebagai rujukan etik dan kebijakan.
Satyawan mengatakan Kemenhut akan melibatkan semua pihak pemangku kepentingan, termasuk masyarakat hukum.
“Konsultasi publik tidak cukup satu atau dua kali. Kita akan lakukan berulang kali untuk memastikan suara masyarakat terakomodasi,” ujarnya.
Mahkamah Konstitusi pada Kamis (17/7/2025) lalu menolak Uji Formil UU KSDHAE diajukan oleh empat pemohon, yakni AMAN, WALHI, KIARA, dan seorang individu Mikael Ane. MK menilai proses legislasi dinilai sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Meski demikian, putusan MK tersebut diwarnai adanya alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Konstitusi Arsul Sani. Selain itu, terdapat pula pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Dalam UU 32/2024, masyarakat hukum adat diatur secara eksplisit, termasuk pada Pasal 37 ayat (3) dan (4) serta bagian penjelasan umum. Keterlibatan masyarakat adat dalam pelaksanaan undang-undang ini akan dituangkan secara lebih teknis dalam peraturan turunan. ***