Perpres 110/2025: Menakar Nilai Ekonomi Karbon sebagai Mesin Pertumbuhan Hijau Indonesia

MORE ARTICLES

Oleh: Jerry Marmen (Founder Asosiasi Penggiat Karbon dan Bisnis Berkelanjutan/Atkarbonist)

Ecobiz.asia – Indonesia baru saja melangkah ke fase penting dalam pembangunan berkelanjutan. Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional menandai komitmen bahwa setiap ton emisi kini memiliki nilai ekonomi yang nyata. Regulasi ini bukan sekadar kebijakan teknokratis, melainkan pernyataan strategis politik, ekonomi, sekaligus moral bahwa polusi tidak lagi gratis dan harus diperhitungkan dalam neraca pembangunan.

Namun keberhasilan kebijakan ini tidak berhenti pada penerbitan peraturan. Tantangan sesungguhnya ada pada pelaksanaan. Dibutuhkan pemahaman lintas sektor, komitmen yang konsisten, dan tata kelola yang transparan agar Perpres 110/2025 benar-benar menjadi motor penggerak ekonomi hijau yang kredibel, berdaya saing, dan berdampak nyata bagi transformasi nasional.

Dari Komitmen Global Menuju Aksi Domestik

Lahirnya Perpres 110/2025 merupakan langkah konkret dari komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement dan target Nationally Determined Contribution (NDC) yakni penurunan emisi 31,89% secara mandiri, atau hingga 43,2% dengan dukungan internasional pada 2030.

Perpres ini memperkenalkan dua pilar utama: 1) Pengendalian Emisi Nasional, dan 2) Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Keduanya menegaskan bahwa setiap sektor,  energi, industri, transportasi, hingga kehutanan wajib mengukur, melaporkan, dan menurunkan emisi secara terverifikasi. Setiap ton karbon yang dihasilkan, dikompensasi, atau dikurangi kini memiliki nilai ekonomi dan dapat diperdagangkan di pasar karbon.

Read also:  Sertifikat Hak Milik dari Kawasan Hutan: Bukti Nyata Kebijakan Penataan Kawasan

Jika dikelola dengan disiplin dan integritas, kebijakan ini dapat menjadi instrumen ekonomi hijau paling strategis dalam sejarah pembangunan nasional, menciptakan sumber pembiayaan transisi energi, mendukung reforestasi, dan mempercepat adopsi teknologi bersih.

Namun potensi besar ini bergantung pada kejelasan aturan turunan. Penetapan kriteria “instalasi yang diatur”, mekanisme perdagangan, dan sistem pelaporan masih membutuhkan panduan teknis. Ketidakpastian tersebut bisa memperlambat investasi dan membuat pelaku usaha menunggu. Karena itu, percepatan penyusunan aturan pelaksana menjadi kunci kredibilitas kebijakan, terutama terkait tata cara perdagangan karbon (Pasal 58–67) dan sistem MRV nasional (Pasal 76–85).

Dua instrumen fiskal utama yaitu pembayaran berbasis kinerja dan pungutan atas karbon, perlu dirancang dengan prinsip earmarking dan transparansi. Artinya, setiap rupiah dari hasil pungutan karbon harus kembali ke pembiayaan proyek hijau, bukan sekadar menambah penerimaan negara.

Kebijakan karbon hanya akan menjadi insentif perubahan bila publik percaya bahwa dananya digunakan untuk mempercepat transisi energi dan dekarbonisasi. Sistem MRV berperan penting sebagai tulang punggung transparansi, memastikan setiap ton karbon yang dilaporkan benar-benar terverifikasi dan tidak berpotensi greenwashing.

Pasar karbon yang kredibel bergantung pada kejujuran data. Setiap unit karbon yang diperdagangkan harus mewakili pengurangan emisi yang nyata, unik, dan bebas dari klaim ganda. Transparansi bukan hanya prinsip, tapi oksigen bagi kepercayaan publik dan investor.

Read also:  Indonesia di Tengah Tarik-Menarik EUDR: Risiko atau Peluang?

Prinsip ESGRC (Environmental, Social, Governance, Risk, and Compliance) yaitu transparency, accountability, responsibility, independence, fairness harus menjadi fondasi pelaksanaan NEK. Tanpa disiplin GRC, kebijakan karbon akan kehilangan legitimasi moral dan nilai ekonominya.

Desentralisasi, Peran Daerah, dan Transformasi Dunia Usaha

Implementasi NEK tidak bisa hanya dikelola dari pusat. Pemerintah daerah perlu menjadi aktor utama dalam membangun sistem MRV berbasis wilayah dan memperkuat basis data lokal yang kredibel. Dengan desentralisasi, kebijakan ini lebih adaptif terhadap konteks sosial dan ekonomi setempat.

Dunia usaha juga harus mengubah cara pandangnya. NEK bukan pajak baru, melainkan alat manajemen risiko dan inovasi bisnis. Perusahaan yang cepat beradaptasi dengan menghitung, melaporkan, dan menurunkan emisinya akan menikmati efisiensi, reputasi yang lebih baik, dan akses ke pembiayaan hijau global. Sebaliknya, yang lamban akan tertinggal, terutama menghadapi kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa.

Read also:  Perkuat Pasar Karbon, KLH Resmi Teken MRA dengan GCC dan Plan Vivo

Penegakan hukum menjadi elemen penting lainnya. Pelanggaran batas emisi harus dikenai sanksi tegas, mulai dari denda progresif, pembekuan, hingga pencabutan izin. Komite pengawasan independen lintas kementerian diperlukan untuk memastikan kredibilitas dan objektivitas dalam penerapan sanksi.

Dari Regulasi Menuju Revolusi Hijau

Kelemahan utama kebijakan lingkungan di Indonesia selama ini bukan pada regulasinya, melainkan pada lemahnya implementasi. Perpres 110/2025 membuka peluang besar untuk memperbaikinya. Harga karbon kini berfungsi sebagai sinyal ekonomi baru yang mendorong efisiensi energi, inovasi teknologi, dan perilaku bisnis yang lebih bertanggung jawab.

Ketika harga karbon bekerja dengan baik, perusahaan akan memperhitungkan risiko iklim dalam strategi bisnisnya; lembaga keuangan menilai portofolio berdasarkan emisi; dan masyarakat menyadari bahwa setiap aktivitas konsumsi memiliki jejak karbon.

Agar transformasi ini berkelanjutan, tiga pilar utama harus dijaga: kolaborasi, kredibilitas, dan konsistensi. Kolaborasi memastikan partisipasi lintas sektor; kredibilitas membangun kepercayaan pasar; dan konsistensi menjaga arah kebijakan agar tidak bergeser oleh dinamika politik.

Dengan disiplin menjalankan prinsip ESGRC, Indonesia dapat menjadikan Perpres 110/2025 bukan sekadar instrumen hukum, tetapi momentum moral dan ekonomi untuk menegakkan ekonomi hijau yang tangguh dan berdaya saing global. ***

TOP STORIES

MORE ARTICLES

Budaya Sadar Sampah di Eropa Barat

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Ecobiz.asia - Menteri Lingkungan Hidup kabinet Merah Putih era Prabowo–Gibran tampaknya menjadikan penanganan...

Menghidupkan Kembali Karet Nusantara: Dari Komoditas Terlupakan Menuju Simbol Ekonomi Hijau Indonesia

Oleh: Diah Suradiredja (Pemerhati perdagangan komoditas berkelanjutan) Ecobiz.asia - Di tengah gegap gempita wacana sawit berkelanjutan dan ekspor nikel hijau, ada satu komoditas lama yang...

Sertifikat Hak Milik dari Kawasan Hutan: Bukti Nyata Kebijakan Penataan Kawasan

Oleh: Dr. Pernando Sinabutar (Bekerja di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIX Pekanbaru) Ecobiz.asia - “Tanah ini adalah tanah leluhur yang diwariskan kepada kami sejak...

Keanekaragaman Hayati: Antara Penting dan Tidak Penting

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Kehutanan) Ecobiz.asia - Miris rasanya membaca berita di Harian Kompas edisi Sabtu (6/9/2025) berjudul “Keanekaragaman Hayati Taman...

Indonesia di Tengah Tarik-Menarik EUDR: Risiko atau Peluang?

Oleh: Diah Suradiredja (Pemerhati perdagangan komoditas berkelanjutan) Ecobiz.asia - Regulasi EUDR sejak awal dipuji sebagai tonggak sejarah keberanian Uni Eropa dalam memimpin agenda global melawan...

TOP STORIES

KLH Siapkan Safeguard, Pastikan Pasar Karbon Bebas Manipulasi

Ecobiz.asia — Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) memperkuat fondasi tata kelola Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk memastikan pasar karbon Indonesia berjalan transparan,...

Bappenas dan Mitra Jepang Mulai Studi Bersama Pengembangan Green-Enabling Super Grid di Indonesia

Ecobiz.asia — Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menandatangani Pernyataan Bersama (Joint Statement) dengan Sumitomo Corporation, Kansai Electric Power Co., Ltd., dan Summit Niaga Indonesia untuk...

Perpres 109/2025: Tarif Listrik dari Sampah Tetap, PLN Wajib Beli

Ecobiz.asia — Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan...

Jelang COP30 di Brasil, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim Tegaskan Komitmen Indonesia pada Paris Agreement

Ecobiz.asia — Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) akan digelar di Belem, Brasil, pada November mendatang, dan menjadi momentum penting bagi negara-negara dunia memperbarui komitmen...

Sebut Soal VCM, Simak Penjelasan Menteri LH Soal Perpres 110/2025 Tentang Perdagangan Karbon

Ecobiz.asia — Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq memberi penjelasan terkait terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon...