Ketika Tiongkok Berbelok ke Hijau, Arah 2026 dan Cara Indonesia Menyikapinya dengan Kepala Tegak

MORE ARTICLES

Oleh : Diah Suradiredja (Pemerhati perdagangan komoditas berkelanjutan)

Ecobiz.asia – Dalam satu dekade terakhir, kebijakan hijau Tiongkok bertransformasi dari agenda lingkungan menjadi strategi negara. Ia tidak lagi sekadar mengejar penurunan emisi, tetapi membentuk ulang arah pembangunan nasional: mengamankan energi, menata industri berat, mengarahkan pembiayaan, dan memperkuat posisi dalam rantai pasok global. Dalam konteks ini, “hijau” berfungsi sebagai statecraft, alat untuk mengelola risiko ekonomi dan membangun daya saing jangka panjang (Rodrik, 2023; UNCTAD, 2024).

Tahun 2026 menjadi penanda krusial karena menandai awal implementasi 15th Five-Year Plan (2026-2030). Dalam sistem perencanaan Tiongkok, rencana lima tahunan bukan dokumen simbolik, melainkan kompas kebijakan yang mengikat belanja publik, kredit perbankan, mandat BUMN, hingga standar industri (NDRC, 2024; World Bank, 2023a). Dengan kata lain, 2026 adalah momen ketika arah hijau Tiongkok menjadi kebijakan operasional, bukan lagi eksperimen.

Dari target emisi ke arsitektur industri hijau

Secara kuantitatif, skala transisi hijau Tiongkok sulit ditandingi. Hingga 2024, kapasitas energi surya dan angin telah melampaui 1.000 GW, dan lebih dari 60% penambahan kapasitas energi terbarukan global berasal dari Tiongkok (IEA, 2024a). Di sektor transportasi, kendaraan listrik menyumbang lebih dari 35% penjualan mobil baru domestik, sementara Tiongkok menguasai sekitar 60% produksi EV global (IEA, 2024b).

Namun arah menuju 2026 ditentukan bukan hanya oleh besarnya kapasitas, melainkan oleh pendalaman sistem. Fokus kebijakan bergeser dari ekspansi cepat ke penataan struktural, terutama pada industri berat, baja, semen, dan aluminium, yang secara kolektif menyumbang lebih dari 20% emisi nasional (World Bank, 2023a).

Di sini, pasar karbon nasional (Emissions Trading System/ETS) memainkan peran kunci. Sejak diluncurkan pada 2021, ETS Tiongkok telah mencakup sektor ketenagalistrikan dengan volume emisi sekitar 4-5 miliar ton CO₂ per tahun, menjadikannya pasar karbon terbesar di dunia (ICAP, 2024; World Bank, 2024). Perluasan cakupan ke industri berat menjelang 2026 menjadikan ETS bukan hanya instrumen iklim, tetapi juga mekanisme tata kelola industri, untuk membaca efisiensi, produktivitas energi, dan kesiapan teknologi (Zhang & Karplus, 2023).

Read also:  Reevaluasi Perhutanan Sosial: Saatnya Fokus pada Kualitas dan Kemandirian KUPS

Di sisi pembiayaan, nilai pembiayaan hijau dan transisi di Tiongkok telah melampaui USD 2 triliun, didukung oleh penguatan taksonomi dan pelaporan yang semakin ketat (PBoC, 2023; Climate Bonds Initiative, 2024). Mulai 2026, akses modal akan semakin ditentukan oleh kualitas data, pelaporan ESG, dan kesesuaian standar (OECD, 2023a).

Sinyal kebijakan 2026: apa yang akan mengeras

Menjelang 2026, setidaknya lima sinyal kebijakan menguat. Pertama, pengetatan disiplin industri berat melalui ETS dan pengendalian kapasitas untuk mengatasi overcapacity dan tekanan ekonomi domestik (OECD, 2023b). Kedua, ETS yang lebih fungsional, dengan peningkatan kualitas MRV dan konsistensi sinyal harga karbon (World Bank, 2024). Ketiga, pembiayaan hijau yang makin selektif, terutama untuk investasi luar negeri yang berisiko lingkungan dan reputasi (IPSF, 2023). Keempat, penguatan rantai pasok teknologi bersih, di mana Tiongkok menguasai 70–90% kapasitas manufaktur global pada beberapa segmen kunci seperti panel surya dan baterai (BloombergNEF, 2023). Kelima, konsekuensi dagang yang meningkat ketika kebijakan industri hijau bertemu proteksionisme dan trade remedies (UNCTAD, 2024; Evenett & Fritz, 2024).

Kebijakan Hijau Tiongkok Menjelang 2026 & Implikasinya bagi Indonesia

Read also:  Di Balik Pencabutan 22 PBPH: Fakta, Konteks, dan Realitas
Dimensi StrategisTiongkok (Arah hingga 2026)Indonesia (Implikasi & Antisipasi)
Energi Terbarukan>1.000 GW kapasitas surya + angin (2024); >60% penambahan global; fokus ke stabilitas sistem & biaya rendahPotensi besar EBT, tetapi butuh percepatan proyek bankable, reformasi PPA, dan penguatan jaringan
Transisi Sistem EnergiFokus system-level transition: grid digital, storage, AI, virtual power plantsAntisipasi harus bergeser dari sekadar pembangkit ke jaringan, fleksibilitas, dan interkoneksi
Industri BeratPengetatan efisiensi baja, semen, aluminium; kontrol kapasitas untuk atasi overcapacityRisiko carbon lock-in jika investasi industri tidak disertai standar emisi & energi yang jelas
Pasar Karbon (ETS)ETS nasional mencakup ±4–5 miliar tCO₂/tahun; perluasan ke industri beratPerlu kesiapan MRV nasional dan peta emisi industri untuk menjaga daya saing
Pembiayaan Hijau>USD 2 triliun green & transition finance; taksonomi makin selektif & data-drivenProyek tanpa data ESG/MRV berisiko sulit dibiayai; perlu pipeline hijau nasional
Teknologi BersihDominasi manufaktur global (70–90%) di PV, baterai, storagePeluang transfer teknologi, tetapi perlu syarat TKDN realistis & perlindungan lingkungan
Hilirisasi MineralFokus rantai pasok baterai & EV terintegrasiPerlu traceability, ESG, dan perlindungan sosial agar diterima pasar global
Dampak DagangEkspor teknologi hijau meningkat; friksi dagang & trade remedies menguatButuh diplomasi standar & kesiapan industri domestik
Peran NegaraHijau sebagai statecraft: arahkan modal, standar, industriIndonesia perlu posisi negara yang tegas, bukan reaktif
Risiko UtamaOvercapacity spillover, ketegangan dagangMenjadi lokasi eksternalitas jika tata kelola lemah
Kunci 2026Konsolidasi kebijakan & standarPenentuan posisi nasional & kesiapan institusi

Tabel ini menunjukkan bahwa kebijakan hijau Tiongkok tidak berdiri sendiri sebagai agenda lingkungan, melainkan terjalin erat dengan kebijakan industri, pembiayaan, dan perdagangan. Bagi Indonesia, tantangannya bukan meniru, tetapi membaca ritme perubahan dan menempatkan diri secara berdaulat.

Read also:  Bencana dan Distorsi Informasi, Pentingnya Komunikasi Publik Pejabat Pemerintah

Indonesia di persimpangan peluang dan jebakan

Bagi Indonesia, arah ini menghadirkan peluang sekaligus risiko. Di satu sisi, Indonesia membutuhkan investasi besar untuk transisi energi, diperkirakan USD 25-30 miliar per tahun hingga 2030, dan kerja sama dengan Tiongkok dapat mempercepat pembangunan energi terbarukan, jaringan listrik, dan industri rendah karbon (ADB, 2023; Bappenas, 2023). Di sisi lain, tanpa kesiapan tata kelola, Indonesia berisiko menjadi lokasi eksternalitas: carbon lock-in, relokasi industri intensif emisi, serta ketergantungan standar dan data pada pihak luar (World Bank, 2023b).

Namun di sisi lain, tanpa kesiapan tata kelola, Indonesia berisiko menjadi lokasi eksternalitas. Investasi industri intensif energi yang hari ini terlihat menarik bisa berubah menjadi carbon lock-in ketika standar global mengeras. Tekanan overcapacity dari luar dapat berpindah lokasi. Dan tanpa sistem MRV, traceability, dan standar ESG yang kredibel, Indonesia akan selalu berada pada posisi mengikuti definisi pihak lain, baik dalam pembiayaan, perdagangan, maupun reputasi.

Untuk melihat lebih jelas bagaimana arah kebijakan hijau Tiongkok berinteraksi dengan kepentingan nasional Indonesia, matriks berikut merangkum peluang dan risiko lintas sektor utama.

Matriks Risiko–Peluang Indonesia Menghadapi Kebijakan Hijau Tiongkok (Menuju 2026)

SektorArah Kebijakan Hijau TiongkokPeluang bagi IndonesiaRisiko bagi IndonesiaRespons Strategis yang Disarankan
EnergiEkspansi EBT skala besar; fokus stabilitas sistem (grid, storage, AI); biaya teknologi makin rendahAkses teknologi murah; percepatan EBT; pembiayaan proyek besarKetergantungan teknologi; proyek EBT tanpa kesiapan jaringan → curtailmentPrioritaskan kerja sama di grid, storage, digitalisasi; reformasi PPA & interkoneksi
Mineral Kritis (nikel, bauksit, dll.)Integrasi rantai pasok baterai & EV; standar ESG makin diperhatikan investorHilirisasi; posisi strategis dalam rantai pasok globalRace to the bottomlingkungan & sosial; tekanan overcapacityWajibkan traceability, standar ESG, dan perlindungan sosial sejak hulu
Kehutanan & Komoditas LahanTekanan global pada deforestasi; pembiayaan hijau makin selektifPasar premium jika legalitas & traceability kuatStigmatisasi; petani kecil terpinggirkanBangun sistem keterlacakan nasional yang adil & interoperable
Manufaktur & Industri BeratPengetatan emisi; ETS; kontrol kapasitas industriUpgrade teknologi; efisiensi energiCarbon lock-in; relokasi industri kotorTetapkan standar emisi & energi domestik sejak awal investasi
Pembiayaan & InvestasiTaksonomi hijau & transisi makin ketat; reputasi investor diperhitungkanAkses modal hijau & transisiProyek tanpa data MRV sulit dibiayaiSiapkan pipeline proyek hijau nasional berbasis data
Perdagangan InternasionalFriksi dagang teknologi hijau meningkatPeluang posisi strategis ASEANTerjepit antara standar Tiongkok–BaratDiplomasi standar & mutual recognition
Tata Kelola NegaraHijau sebagai instrumen statecraftPembelajaran kebijakan jangka panjangReaksi sektoral & fragmentasi kebijakanKonsolidasi lintas kementerian & asosiasi

Antisipasi 2026: dari sikap ke strategi negara

Karena itu, membaca kebijakan hijau Tiongkok menuntut Indonesia bergerak dari respons sektoral ke strategi negara. Pertama, membangun intelijen kebijakan hijau lintas kementerian dan asosiasi untuk membaca 15th Five-Year Plan, ETS, taksonomi, dan implikasi dagang sebagai satu kesatuan. Kedua, memastikan kerja sama hijau berbasis kesetaraan standar dan data, khususnya pada MRV emisi industri dan pembiayaan transisi.

Ketiga, merumuskan green industrial policy Indonesia yang operasional, dengan insentif efisiensi energi, penggunaan listrik bersih, ekonomi sirkular, dan perlindungan sosial. Keempat, memperkuat tata kelola hilirisasi mineral dengan traceability dan ESG sebagai prasyarat, mengingat sektor ini akan menopang rantai pasok baterai dan EV global.

Kelima, mengarahkan kerja sama ke penguatan sistem energi, terutama jaringan, fleksibilitas, dan digitalisasi, area yang kerap luput tetapi menentukan ketahanan transisi. Keenam, menyiapkan diplomasi standar untuk menghadapi friksi dagang hijau yang meningkat. Ketujuh, memastikan komoditas berbasis lahan masuk dalam kontrak sosial baru, seperti legalitas, keterlacakan, dan keberlanjutan yang adil bagi petani kecil.

Catatan: tenang, berdaulat

Ketika kita berbicara tentang kebijakan hijau Tiongkok, sesungguhnya kita sedang bercermin. Kita menimbang cara memaknai pembangunan, siapa yang kita lindungi, dan harga apa yang bersedia kita bayar atas nama pertumbuhan. Tiongkok memilih jalannya dengan ketegasan negara yang tahu apa yang ingin dijaga. Indonesia tidak harus menirunya. Tetapi kita juga tidak bisa berpura-pura bahwa perubahan ini tidak akan menyentuh kita.

Tahun 2026 akan datang tanpa sorak. Yang membedakan hanyalah apakah Indonesia menyambutnya dengan kesadaran dan ketegasan, atau membiarkannya lewat sebagai kesempatan yang terlewat. Dalam lanskap transisi hijau global yang semakin politis, ujian kita bukan pada kecepatan mengikuti dunia, melainkan pada ketenangan memilih dengan kepala tegak, menjadi mitra yang berdaulat, bukan halaman belakang dari perubahan. ***

LATEST STORIES

MORE ARTICLES

Reevaluasi Perhutanan Sosial: Saatnya Fokus pada Kualitas dan Kemandirian KUPS

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Penulis Buku Seputar Hutan dan Kehutanan (2021) dan Membangun Hutan Menjaga Lingkungan (2023)) Ecobiz.asia...

Di Balik Pencabutan 22 PBPH: Fakta, Konteks, dan Realitas

Oleh: Pramono DS (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Ecobiz.asia - Di tengah bencana di Pulau Sumatera yang ditandai oleh banjir bandang disertai...

Bencana dan Distorsi Informasi, Pentingnya Komunikasi Publik Pejabat Pemerintah

Oleh: Ihwan, S.Sos., M.Si. (Analis Kebijakan Ahli Madya, Kementerian Kehutanan) Ecobiz.asia - Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat...

Bencana Sumatera dan Pentingnya Mengelola DAS sebagai Rumah Kita Bersama

Oleh: Dr. Ir. Eka W. Soegiri (Anggota Forum DAS Nasional) Ecobiz.asia - Sejak akhir November 2025, tiga provinsi di ujung barat Indonesia — Aceh, Sumatera...

Membaca Arah Baru Kebijakan Hijau Tiongkok: Peluang, Risiko, dan Masa Depan Sawit Indonesia

oleh: Diah Suradiredja (Pemerhati perdagangan komoditas berkelanjutan) Ecobiz.asia - Tiongkok kini memasuki fase penting dalam evolusi kebijakan lingkungannya. Negara tersebut bergerak dari model pertumbuhan yang...

TOP STORIES

Gandeng Kelompok Tani, Pertamina Hulu Mahakam Rehabilitasi 345 Hektare DAS

Ecobiz.asia – PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Wilayah Kalimantan Sulawesi merehabilitasi Daerah Aliran...

Indonesia Opens Access to Performance-Based REDD+ Carbon Financing Through ART-TREES

Ecobiz.asia — Indonesia’s Ministry of Forestry (Kemenhut) has opened opportunities for subnational governments to access performance-based REDD+ carbon financing through the ART-TREES mechanism, as...

Berkas Lengkap, Gakkum Kehutanan Segera Bawa 4 Tersangka Perambahan Tahura Jadi Sawit di Jambi ke Persidangan

Ecobiz.asia — Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan Wilayah Sumatera menuntaskan penanganan kasus perambahan kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Orang Kayo Hitam (OKH) di Kabupaten...

Bakal Rugikan Petani, POPSI Tolak Wacana Kenaikan Pungutan Ekspor Sawit untuk Program B50

Ecobiz.asia — Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) menolak wacana kenaikan pungutan ekspor (PE) kelapa sawit pada 2026 yang dikaitkan dengan rencana peningkatan mandatori...

PetroChina Sukses Rehabilitasi 34 Hektare DAS di Jambi, Tingkat Keberhasilan Vegetasi Capai 95 Persen

Ecobiz.asia — SKK Migas–PetroChina International Jabung Ltd. menyelesaikan rehabilitasi lahan seluas 34 hektare di Kawasan Hutan Lindung Gambut (HLG) Londerang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur,...