Ecobiz.asia – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan bahwa transisi hijau di sektor industri dapat dilakukan tanpa belanja modal awal (zero capex) dengan memanfaatkan sumber pembiayaan alternatif seperti efisiensi energi, teknologi carbon capture utilization (CCU), dan kredit karbon.
Kepala Pusat Industri Hijau Kemenperin Apit Haryanto menegaskan bahwa strategi pemerintah kini berfokus pada penciptaan permintaan melalui regulasi yang tetap menjaga daya saing industri.
“Prinsip kami adalah regulate to create demand. Industri cukup fokus menjalankan efisiensi tanpa harus memikirkan bagaimana mengembalikan modalnya,” ujar Apit dalam salah satu sesi panel Indonesia Sustainability Forum (ISF) 2025, Jumat (10/10/2025).
Menurutnya, karakter proyek transisi di sektor industri berbeda dengan energi karena skala proyek lebih kecil tetapi tersebar luas di berbagai pabrik. Oleh sebab itu, dibutuhkan skema pembiayaan yang sederhana dan masif di tingkat pabrikan.
Apit menawarkan tiga mekanisme agar proyek transisi dapat berjalan tanpa investasi awal. Pertama, pembiayaan berbasis penghematan biaya operasional (OPEX) dari efisiensi energi, misalnya pemasangan panel surya atap yang dananya berasal dari penghematan listrik.
Kedua, penerapan teknologi CCU untuk menangkap emisi dari gas buang sekaligus menghasilkan produk turunan bernilai ekonomi seperti soda ash, metanol, biomassa, hidrogen hijau, hingga bahan baku kosmetik. Nilai jual produk tersebut dapat digunakan untuk menutup biaya investasi.
Ketiga, monetisasi kredit karbon melalui skema Emission Trading System (ETS) domestik maupun pasar karbon sukarela yang sudah berjalan. Pendapatan dari penjualan unit emisi dapat memperkuat kemampuan bayar industri terhadap proyek transisi energi.
Namun, Direktur Corporate Banking BNI Agung Prabowo menilai konsep zero capex murni belum sepenuhnya realistis. Ia menyebutkan bahwa kondisi pasar keuangan saat ini belum memungkinkan pembiayaan tanpa kontribusi modal dari pelaku usaha.
“Kalau Capex harus nol, itu belum mungkin. Di perbankan, tetap harus ada porsi ekuitas,” ujarnya.
Agung menjelaskan, lembaga keuangan membutuhkan kejelasan terkait likuiditas pasar karbon, penentuan harga (pricing), serta sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) yang diakui secara internasional. “Kita baru mulai dengan carbon unit trading, belum aktif diperdagangkan. Pricing belum likuid, verifikasi karbon pun belum diterima investor,” katanya.
Menurutnya, pasar karbon yang likuid dengan standar verifikasi kredibel akan menciptakan harga acuan, menarik investor, dan menurunkan cost of capital melalui skema green loan atau green bond.
Sementara itu, Wakil Ketua KADIN dan APINDO Sanny Iskandar menilai solusi dapat ditemukan melalui kombinasi beberapa instrumen keuangan berkelanjutan. “Ada peluang lewat skema seperti blended financing atau green financing,” ujarnya.
Sanny menambahkan, kombinasi hibah, jaminan risiko, dan pendanaan murah dari lembaga pembangunan dapat menurunkan biaya modal sekaligus mempercepat penguatan pasar karbon domestik.
“Keterbukaan informasi dan sharing best practice antarindustri juga penting, agar seluruh pelaku mendapat manfaat optimal. Tanpa itu, zero capex akan tetap menjadi visi, bukan realitas,” tegasnya. ***