Ecobiz.asia – Kementerian Kehutanan mendorong Papua menjadi provinsi percontohan implementasi Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, agenda nasional untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan. Papua dinilai memiliki potensi besar melalui hutan tropis seluas lebih dari 7 juta hektare dan kearifan lokal masyarakat adat.
“Papua bisa menjadi model pembangunan rendah emisi yang inklusif berbasis alam,” kata Staf Ahli Menteri Kehutanan bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati, dalam Dialog Climate Action for Net Zero Emission di Jayapura, 31 Juli–1 Agustus 2025.
Forum dialog ini turut menghadirkan Anggota DPD RI dari Papua Henock Puraro, Wakil Walikota Jayapura, Kepala OJK Papua, Ketua Umum Apresiasi Lingkungan dan Hutan Indonesia, akademisi, serta sejumlah pemangku kepentingan daerah dan tokoh masyarakat adat.
Haruni menjelaskan bahwa sektor kehutanan menyumbang sekitar 60% dari target pengurangan emisi GRK Indonesia. Salah satu strateginya adalah melalui FOLU Net Sink 2030 yang menargetkan penurunan emisi sebesar -140 juta ton CO₂e pada tahun 2030.
Agenda FOLU Net Sink diwujudkan melalui aksi nyata seperti pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, restorasi dan perbaikan tata air gambut, rehabilitasi hutan dan optimalisasi lahan tidak produktif, perlindungan kawasan konservasi, serta pengelolaan hutan lestari dengan melibatkan masyarakat.
Papua, dengan bentang alam hutan tropis yang luas dan keanekaragaman hayati tinggi, serta dengan kekuatan ekologis dan sosial yang unik, dapat menjadi contoh keberhasilan pembangunan rendah emisi yang inklusif. Papua sendiri masuk dalam lokasi prioritas untuk implementasi aksi mitigasi sektor FOLU.
“Tanah Papua menyimpan kekuatan ekologis yang tak tergantikan. Jika kita kelola dengan benar dan adil, Papua bukan hanya penyerap karbon dunia, tetapi juga simbol kepemimpinan iklim berbasis kearifan lokal,” kata Haruni yang juga menjadi Ketua Harian Sekretariat Tim Kerja FOLU Net Sink Kemenhut.
Lebih lanjut Haruni menjelaskan, salah satu sumber pembiayaan untuk mencapai target FOLU Net Sink adalah Nilai Ekonomi Karbon, termasuk dari perdagangan karbon dan pembayaran berbasis kinerja. Skema ini memberikan peluang bagi masyarakat, pemerintah daerah, dan pelaku usaha kehutanan untuk mengakses insentif finansial dari upaya menjaga dan memulihkan ekosistem hutan.
“Kita ingin agar nilai ekonomi karbon bisa menjadi peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan ekosistem. Masyarakat bisa benar-benar menjadi bagian dari rantai manfaat nilai ekonomi karbon. Bukan hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai pelaku utama dalam konservasi dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan,” ujar Haruni.
Pemerintah telah mengembangkan kebijakan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon melalui Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 dan berbagai aturan teknis turunannya. Kebijakan ini memungkinkan pengembangan mekanisme seperti perdagangan karbon, offset emisi, pungutan atas karbon, dan pembayaran berbasis hasil (Results-Based Payment) seperti REDD+.
Haruni menyoroti pentingnya keterlibatan Papua dalam skema implementasi RBP REDD+. Saat ini, Indonesia telah menerima hampir 500 juta dolar AS pembayaran berbasis hasil (RBP) dari mitra internasional atas kinerja pengurangan emisi yang terverifikasi.
Haruni menyatakan, dengan kekayaan alam dan potensi ekosistem hutan termasuk mangrove dan rawa gambut, Papua dapat menjadi lokasi unggulan pengembangan nilai ekonomi karbon yang berkualitas tinggi.
“Papua punya peluang menjadi jurisdictional leader dalam mekanisme pasar karbon global. Tetapi untuk itu, kita harus memperkuat sistem pencatatan, transparansi, dan pelibatan masyarakat secara penuh,” jelasnya.
Haruni mengajak seluruh pemangku kepentingan di Papua mulai dari pemerintah daerah, tokoh adat, akademisi, sektor swasta, dan LSM, untuk menggalang kolaborasi multipihak demi mencapai transformasi iklim yang inklusif.
“Dari Papua, kita bisa buktikan bahwa perlindungan alam dan peningkatan kesejahteraan bukanlah menjadi dua hal yang bertolak belakang. Papua bisa menjadi provinsi yang hijau, mandiri dan tangguh iklim,” pungkas Haruni. ***