Oleh: Pramono DS (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Ecobiz.asia – Di tengah bencana di Pulau Sumatera yang ditandai oleh banjir bandang disertai kayu dari kawasan hulu yang merusak jalan, jembatan, dan permukiman warga, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengumumkan pencabutan 22 izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Total luas izin yang dicabut mencapai 1.012.016 hektare, termasuk 116.198 hektare di Sumatera, pada Senin (15/12/2025).
Sebelumnya, pada Februari 2025, Menteri Kehutanan juga telah mencabut 18 izin PBPH seluas 526.144 hektare. Dengan demikian, sepanjang 2025 tercatat 40 unit PBPH dicabut izinnya dengan total luas lebih dari 1,5 juta hektare. Tulisan ini mencoba mengulas lebih jauh apa itu PBPH, bagaimana regulasi pencabutannya, serta hak dan kewajiban pemegang izin PBPH.
Terminologi PBPH
Istilah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) mulai dikenal setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khususnya Pasal 26–30 bidang kehutanan, yang berlaku pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Ketentuan ini diturunkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
PP tersebut menegaskan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan hutan dilakukan melalui usaha pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan. Seluruh kegiatan pemanfaatan hutan, baik di hutan lindung maupun hutan produksi, dilakukan melalui PBPH.
Pertanyaan pentingnya kemudian adalah: PBPH jenis apa yang dicabut Menteri Kehutanan dalam skala lebih dari satu juta hektare tersebut?
Hampir dapat dipastikan bahwa 22 PBPH yang dicabut merupakan PBPH pemanfaatan hasil hutan kayu, baik dari hutan alam maupun hutan tanaman, yang izinnya berasal dari era Orde Baru atau awal reformasi—jauh sebelum kepemimpinan Menteri Kehutanan saat ini.
Pemanfaatan hasil hutan kayu telah berlangsung sejak diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan dan PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) serta Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Regulasi ini memungkinkan eksploitasi kayu dari hutan alam. Selanjutnya, PP Nomor 7 Tahun 1990 memperkenalkan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, UU Nomor 5 Tahun 1967 digantikan oleh UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Terminologi HPH berubah menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA), sedangkan HPHTI menjadi IUPHHK-HT. Dalam PP Nomor 23 Tahun 2021, seluruh izin tersebut dilebur ke dalam skema PBPH hutan produksi.
Regulasi PBPH
Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam meliputi penebangan, pengayaan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan, dan pemasaran. Sementara itu, pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan tanaman mencakup penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran.
Pemanfaatan hasil hutan kayu dilakukan melalui sistem silvikultur yang disesuaikan dengan karakteristik hutan dan lingkungannya. Sistem tersebut meliputi tebang habis permudaan alam, tebang habis permudaan buatan, Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI), tebang pilih tanam jalur, dan tebang rumpang. Dalam praktiknya, teknik silvikultur intensif dapat diterapkan.
Seluruh kegiatan pemanfaatan didahului oleh inventarisasi hutan secara menyeluruh dan berkala. Hasil inventarisasi menjadi dasar penyusunan rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu untuk jangka waktu 10 tahun, dengan memperhatikan rencana pengelolaan jangka panjang Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Rencana kerja ini dievaluasi oleh Kementerian Kehutanan sesuai kebutuhan.
PBPH pemanfaatan hasil hutan kayu diberikan untuk jangka waktu 90 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi. Ketentuan ini jauh lebih panjang dibandingkan era HPH yang hanya berlaku 20 tahun atau IUPHHK-HA yang maksimal 55 tahun.
Pemegang PBPH berhak melakukan kegiatan usaha dan memperoleh manfaat hasil hutan. Namun, kewajiban yang melekat juga sangat ketat, antara lain menyusun rencana kerja 10 tahunan dan tahunan, melakukan penataan batas areal, merealisasikan produksi minimal 50 persen dari target, membayar PNBP, menerapkan sistem silvikultur yang tepat, menjalankan teknik pembalakan berdampak rendah (Reduced Impact Logging), melakukan penatausahaan hasil hutan, serta mempekerjakan tenaga profesional kehutanan.
PBPH dapat dihapuskan apabila jangka waktu izin berakhir, dicabut sebagai sanksi administratif atau putusan pengadilan, atau dikembalikan secara sukarela oleh pemegang izin. Penghapusan PBPH tidak menghapus kewajiban finansial dan kewajiban hukum lainnya.
Analisis Pencabutan 22 Unit PBPH
Penghapusan 22 unit PBPH seluas lebih dari satu juta hektare pada dasarnya masuk dalam kategori pencabutan izin sebagai sanksi administratif. Namun jika ditelaah lebih dalam, pencabutan PBPH tidak semata-mata disebabkan oleh pelanggaran hukum aktif.
Data The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020 mencatat bahwa dari 68,8 juta hektare hutan produksi, sekitar 34,18 juta hektare telah dibebani izin pemanfaatan hasil hutan kayu. Sepanjang 2025, sebanyak 40 unit PBPH dengan luas 1,5 juta hektare telah dicabut.
Di Sumatera, PBPH masih tercatat di Aceh (217.561 ha), Sumatera Utara (535.780 ha), dan Sumatera Barat (219.922 ha). Pertanyaannya, apakah 116.198 hektare PBPH yang dicabut di Sumatera merupakan bagian dari wilayah tersebut? Penjelasan rinci mengenai hal ini tidak pernah disampaikan secara terbuka.
Lebih jauh, pencabutan PBPH pada 2025 sesungguhnya mencerminkan persoalan struktural sektor kehutanan. Sejak era reformasi, usaha pemanfaatan hutan alam semakin tidak prospektif secara ekonomi. Produktivitas hutan alam pasca rotasi kedua menurun drastis dan tidak lagi layak secara finansial.
Pada masa HPH, konsesi diberikan selama 20 tahun, sementara daur tebang TPTI mencapai 35 tahun. Akibat eksploitasi berlebihan pada masa konsesi pertama, banyak perusahaan kehabisan hutan primer sebelum waktunya. Kondisi ini berlanjut hingga era IUPHHK-HA, yang kinerjanya terus merosot pada periode 2010–2015.
Banyak PBPH akhirnya tidak lagi aktif, tidak memenuhi kewajiban pengelolaan, dan mati suri secara teknis. Dalam konteks inilah PBPH gugur satu per satu, bahkan sebelum masa izinnya berakhir.
Karena itu, besar kemungkinan pencabutan 22 PBPH bukan semata akibat pelanggaran hukum, melainkan karena potensi kayu hutan alam telah habis dieksploitasi jauh lebih cepat dari masa konsesi. Kementerian Kehutanan semestinya menjelaskan kondisi ini secara jujur agar publik memahami realitas pengelolaan hutan alam Indonesia.
Yang juga perlu ditegaskan, pencabutan PBPH ini tidak memiliki hubungan langsung dengan bencana di Sumatera, apalagi dengan kinerja Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Pencabutan PBPH adalah kewenangan penuh Kementerian Kehutanan dan mencerminkan persoalan lama dalam tata kelola pemanfaatan hutan alam di Indonesia. ***


