Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Penulis Buku Seputar Hutan dan Kehutanan (2021) dan Membangun Hutan Menjaga Lingkungan (2023))
Ecobiz.asia – Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, dalam Lokakarya Perhutanan Sosial dan Temu Usaha Kelompok Tani Hutan (KTH) Sumatera Utara di Medan, Rabu (10/9/2025), menyatakan bahwa program perhutanan sosial bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan hasil hutan. Saat ini tercatat 15.769 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), yang terdiri atas 120 KUPS platinum, 1.350 KUPS gold, 5.749 KUPS silver, dan 8.550 KUPS blue.

Selain itu, telah diterbitkan 11.065 surat keputusan perhutanan sosial kepada sekitar 1,4 juta kepala keluarga dengan luasan mencapai 8,4 juta hektare pada periode Januari–September 2025 di seluruh Indonesia. Pertanyaannya kemudian, benarkah perhutanan sosial mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan? Untuk menjawabnya, uraian berikut perlu dicermati secara kritis.
Perhutanan sosial merupakan program unggulan pemerintahan Joko Widodo sejak periode pertama hingga kedua (2014–2024). Proses kelahirannya tidak sederhana dan penuh perdebatan. Sebagai bagian dari reforma agraria—selain Tanah Objek Reforma Agraria (TORA)—perhutanan sosial mengusung tujuan mulia: mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pendapatan, dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, tanpa melepaskan hak negara atas kawasan hutan.
Dengan target yang sangat besar, yakni 12,7 juta hektare atau sekitar 10 persen luas hutan Indonesia, program ini semula diharapkan tuntas pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi (2014–2019). Namun hingga Maret 2019, realisasinya baru mencapai 2,57 juta hektare atau 20,23 persen. Target tersebut kemudian dilanjutkan pada periode kedua (2019–2024), tetapi hingga Oktober 2024 hanya tercapai 8,018 juta hektare atau 63,13 persen. Pada 2025, luas perhutanan sosial mencapai 8,4 juta hektare atau sekitar 66,14 persen dari target nasional.
Landasan Regulasi
Dari sisi regulasi, perhutanan sosial sesungguhnya memiliki dasar hukum yang cukup memadai. Konsep pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan telah disinggung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, yang menegaskan kewajiban pemerintah untuk memberdayakan masyarakat melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses guna meningkatkan kesejahteraan.
Pemberdayaan tersebut diwujudkan melalui skema hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan kemitraan kehutanan. Selanjutnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperluasnya dengan menambahkan hutan adat dan hutan tanaman rakyat, sehingga terbentuk lima skema perhutanan sosial sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.83 Tahun 2016.
Penguatan regulasi berlanjut dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang secara eksplisit memasukkan perhutanan sosial dalam Pasal 29A dan 29B bidang kehutanan. Ketentuan ini kemudian diturunkan melalui PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, khususnya Pasal 203 hingga Pasal 247, serta diatur lebih lanjut dalam Permen LHK Nomor 9 Tahun 2021.
Namun, pertanyaan mendasarnya tetap sama: setelah berjalan lebih dari satu dekade, sejauh mana perhutanan sosial benar-benar berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat?
Reevaluasi Perhutanan Sosial
Keberhasilan perhutanan sosial setidaknya ditentukan oleh tiga pilar utama. Pertama, kesediaan dan kemampuan masyarakat membentuk serta mengelola KUPS. Kedua, kesiapan, kapasitas, dan keterampilan penyuluh kehutanan atau pendamping perhutanan sosial. Ketiga, komitmen pemerintah dalam memfasilitasi perizinan, permodalan, hingga pemasaran hasil usaha KUPS.
Salah satu indikator utama keberhasilan adalah kemandirian KUPS. KUPS blue menunjukkan tahap awal kelembagaan, KUPS silver telah mendapat pembinaan kelembagaan dan pengelolaan areal, KUPS gold telah berhasil dalam aspek kelembagaan, kawasan, dan usaha, sedangkan KUPS platinum telah memiliki pasar yang stabil, baik nasional maupun internasional. Dengan demikian, KUPS yang benar-benar mandiri adalah yang berada pada kategori gold dan platinum.
Program perhutanan sosial dapat dikatakan berhasil apabila sedikitnya 60 persen dari total KUPS yang dibentuk telah mencapai kategori mandiri. Namun, data menunjukkan kondisi yang jauh dari harapan.
Pada 2020, penilaian Ditjen PSKL KLHK terhadap 5.208 KUPS menunjukkan hanya 0,92 persen yang mencapai platinum dan 8,31 persen gold, sementara mayoritas masih berada pada tahap awal. Data Go KUPS 2021 bahkan mencatat bahwa KUPS blue dan silver mencapai 93,21 persen. Hingga 2025, proporsi KUPS blue dan silver masih sangat dominan, yakni 90,67 persen. Artinya, KUPS yang benar-benar mandiri hanya sekitar 9,33 persen.
Fakta ini menunjukkan bahwa setelah 11 tahun berjalan, perhutanan sosial belum mampu mengentaskan kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan secara signifikan.
Pendampingan dan Akses Pasar
Kondisi tersebut menuntut evaluasi menyeluruh, terutama terkait kualitas penyuluh kehutanan dan pendamping KUPS. Selama ini, pemerintah cenderung mengejar kuantitas pendamping untuk menutup kekurangan tenaga penyuluh di lapangan. Pendamping perhutanan sosial kerap hanya mendapatkan pelatihan singkat sebelum diterjunkan, sehingga kapasitas mereka untuk mendorong KUPS menjadi mandiri masih terbatas.
Akibatnya, meskipun jumlah KUPS terus bertambah, sebagian besar tetap berada pada kategori nonmandiri dan belum memiliki kegiatan usaha yang berkelanjutan. Dari 15.769 KUPS, sebanyak 14.229 KUPS atau 90,67 persen masih belum mandiri.
Masalah lain yang krusial adalah pemasaran hasil usaha KUPS. Pemerintah sebenarnya telah menyediakan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbunga rendah melalui bank pemerintah, dengan syarat adanya off-taker dari BUMN atau swasta. Dalam konteks perhutanan sosial, off-taker berperan sebagai penjamin dan penghubung komoditas petani ke pasar yang lebih luas.
Namun, kebutuhan off-taker hanya relevan bagi KUPS yang telah mencapai tahap usaha. Dari total KUPS yang ada, hanya sekitar 1.470 unit atau 9,33 persen yang berada pada tahap ini. Artinya, sebagian besar KUPS belum sampai pada fase yang memungkinkan mereka memanfaatkan dukungan pasar secara optimal.
Penutup
Tanpa pembenahan serius terhadap tata kelola KUPS dan peningkatan kualitas penyuluh serta pendamping, KUPS nonmandiri berisiko gugur dan bubar secara perlahan karena ketiadaan kegiatan usaha. Keberhasilan perhutanan sosial tidak dapat diukur semata-mata dari luas kawasan hutan yang telah diberikan kepada masyarakat, melainkan dari sejauh mana KUPS mampu berdiri mandiri dan berkelanjutan.
Pertanyaan mendasarnya kini adalah: kapan KUPS mandiri benar-benar mampu mencapai ambang 60 persen seperti yang diharapkan? ***


