Ecobiz.asia — Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meluncurkan Manual Pengukuran Karbon Biru Lamun sebagai pedoman teknis standar untuk memperkuat kredibilitas data karbon biru, efektivitas konservasi, serta kontribusi Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim.
Dokumen ini menjadi rujukan nasional pertama untuk pengukuran cadangan karbon pada ekosistem padang lamun di wilayah pesisir Indonesia.
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP, Koswara, mengatakan manual tersebut merupakan langkah penting dalam membangun tata kelola karbon biru yang kredibel dan berbasis sains.
Menurutnya, data yang terukur, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan menjadi prasyarat agar Indonesia dapat berperan lebih besar dalam agenda mitigasi iklim dan perdagangan karbon global.
“Manual ini menjadi fondasi penting untuk memperkuat aksi konservasi berbasis bukti sekaligus mendukung pengembangan karbon biru yang berintegritas,” ujar Koswara dikutip Kamis (18/12/2025).
Ia menambahkan, penguatan ekonomi biru membutuhkan kolaborasi lintas sektor, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha, akademisi, hingga masyarakat pesisir.
Pemanfaatan karbon biru, kata dia, harus berjalan seiring dengan upaya menjaga keberlanjutan ekosistem dan memberikan manfaat ekonomi bagi wilayah pesisir.
Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman lamun yang tinggi, dengan 15 spesies dari sekitar 60 spesies lamun dunia ditemukan di perairan nasional. Spesies yang umum dijumpai antara lain Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Cymodocea serrulata.
Secara ekologis, padang lamun dikenal sebagai penyerap karbon yang sangat efisien, terutama pada sedimen yang mampu menyimpan karbon hingga ribuan tahun selama ekosistemnya tetap terjaga.
Secara global, padang lamun diperkirakan menyumbang sekitar 10–18 persen cadangan karbon laut dangkal, meski hanya menutupi kurang dari 0,2 persen dasar laut dunia.
Namun, KKP mencatat banyak padang lamun di berbagai wilayah pesisir Indonesia mengalami penurunan kondisi akibat tekanan aktivitas manusia, seperti alih fungsi kawasan pesisir, pencemaran, praktik penangkapan ikan destruktif, serta dampak perubahan iklim.
Degradasi tersebut tidak hanya menghilangkan fungsi ekologis lamun, tetapi juga berpotensi melepaskan kembali karbon yang tersimpan di sedimen ke atmosfer.
Untuk memperkuat kebijakan iklim, pemerintah telah menerbitkan sejumlah regulasi strategis, di antaranya Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2025, serta Keputusan Menteri KP Nomor 52 Tahun 2024 terkait peta jalan mitigasi perubahan iklim sektor kelautan dan perikanan.
Regulasi tersebut menempatkan ekosistem lamun sebagai aset penting dalam skema perdagangan karbon berbasis konservasi dan restorasi.
Meski demikian, KKP mengakui tantangan implementasi masih dihadapi, terutama terkait perbedaan metode pengukuran, keterbatasan kapasitas teknis lembaga, serta minimnya data biofisik yang terstandar secara nasional.
Ketidaksamaan pendekatan survei dan analisis selama ini dinilai menghambat konsistensi dan keterbandingan data karbon biru.
Direktur Konservasi Ekosistem KKP, Firdaus Agung, mengatakan manual tersebut disusun untuk menjawab tantangan tersebut dengan menyediakan panduan terintegrasi, mulai dari persiapan survei, pengambilan sampel lapangan, analisis laboratorium, perhitungan cadangan karbon, hingga pelaporan dan pengelolaan data.
“Penerapan manual ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas inventarisasi karbon biru, mendorong efisiensi program konservasi, serta memperkuat posisi Indonesia dalam mekanisme perdagangan karbon internasional,” ujar Firdaus.
Ia menambahkan, ketersediaan data karbon biru yang kredibel juga menjadi kunci untuk membuka peluang investasi berbasis konservasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi pesisir yang berkelanjutan. ***


