Ecobiz.asia — Wakil Menteri Lingkungan Hidup/Wakil Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Diaz Hendropriyono, menyerukan keterlibatan sektor swasta dalam menghadapi krisis iklim dan darurat sampah yang kian mengkhawatirkan.
Dalam sambutannya di forum Indonesia Corporate Sustainability Outlook (ICSO) 2025, Diaz menegaskan bahwa solusi iklim tak bisa hanya bertumpu pada pemerintah.
“Panas ekstrem yang kita rasakan hari ini bukan lagi fenomena alam semata, tapi hasil langsung dari emisi yang kita hasilkan sendiri,” kata Diaz di Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Dia merujuk data Climate Central yang menunjukkan tiga kota besar Indonesia—Jakarta, Makassar, dan Semarang—sudah masuk kategori climate index level 3.
Menurut Diaz, sektor limbah menyumbang emisi metana (CH₄)yang daya rusaknya 84 kali lebih besar dari karbon dioksida (CO₂) dalam jumlah besar dalam dua dekade.
“Satu ton sampah padat bisa menghasilkan 1,7 ton CO₂e. Jakarta saja buang 7.500 ton tiap hari. Sampah nasional sudah numpuk 1,6 miliar ton. Gimana Indonesia nggak makin panas?,” ujarnya.
Diaz mengungkap, dari 343 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) open dumping yang dibina pemerintah, sebagian sudah diarahkan menjadi proyek waste-to-energy (WTE) di kota-kota besar. Namun, daerah dengan timbulan sampah di bawah 1.000 ton per hari justru dinilai sebagai peluang emas bagi investor swasta.
“Banyak daerah kecil butuh solusi pengolahan sampah, seperti teknologi RDF (Refuse Derived Fuel). Di sinilah peran swasta seharusnya masuk. Ini bukan charity, ini peluang bisnis,” kata Diaz, menggarisbawahi bahwa solusi teknologi tak harus skala besar.
Pemerintah, lanjut Diaz, juga sedang merevisi Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) untuk menilai tanggung jawab lingkungan korporasi, termasuk aspek pengelolaan sampah mandiri. “Dulu hanya pelabuhan yang dinilai. Sekarang semua perusahaan akan dilihat dari bagaimana mereka kelola sampahnya,” tegasnya. ***