Ecobiz.asia – Sebanyak tujuh perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) berada di tahap akhir penerbitan unit karbon yang akan menjadi tonggak penting dalam perdagangan karbon internasional.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono mengatakan, kesiapan perusahaan kehutanan masuk ke pasar karbon terungkap saat pertemuan dengan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
“Kami sudah berbicara dengan APHI, ada tujuh PBPH yang sudah siap dengan sekitar 10,3 juta Ton CO2 untuk 900 ribu hektare,” kata Diaz saat pembukaan CarboNEX2025 yang diselenggarakan IDXCarbon dan TruCarbon, di Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Baca juga: Inggris Alokasikan 2,8 Juta Poundsterling Bantu Pengembangan Peta Jalan Perdagangan Karbon Indonesia
Ketersediaan unit karbon dari sektor kehutanan diharapkan akan semakin menggairahkan perdagangan karbon di Indonesia. Diaz mengatakan, selain dari sektor kehutanan, pemerintah juga terus mendorong penyediaan unit karbon dari Solusi Berbasis Alam (Nature Based Solutions/NBS) lainnya seperti dari sektor Biochar dan POME.
Potensi dari sektor-sektor ini dinilai cukup besar sekitar 2 juta ton CO2 dari biochar dan hingga 23 juta ton CO2 dari sektor POME.
Langkah ini sejalan dengan upaya memperluas basis pasokan karbon Indonesia yang selama ini masih terfokus pada proyek berbasis teknologi.
Baca juga: Menteri LH Ungkap Progres Revisi Perpres Perdagangan Karbon, Akomodasi Sertifikasi Voluntary
“Kita juga bicara dengan sektor-sektor yang belum kita sentuh, seperti biochar dan POME, karena potensinya sangat besar,” imbuh Diaz.
Untuk menggairahkan perdagangan karbon, Wamen LH juga mengungkapkan pemerintah melakukan pendekatan dari sisi permintaan. Caranya dengan merancang Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan pengembang standard karbon internasional untuk membuka akses pasar yang lebih luas.
Saat ini, Kementerian LH sedang dalam tahap akhir penyusunan MRA dengan dua standar internasional terkemuka Verra dan Gold Standard.
Menurut Diaz, proses dengan Gold Standard sudah sangat intensif, dengan lebih dari sepuluh kali pertemuan dan revisi dokumen. Sementara dengan Verra, pemerintah baru menerima draf pertama MRA pada 11 April lalu dan tengah mempelajarinya lebih lanjut.
Baca juga: Hutan Rakyat Simpan Karbon Tinggi, Potensial Jadi Solusi Mitigasi Perubahan Iklim
Diaz menekankan MRA dengan pengembang standard karbon internasional dilakukan tanpa meninggalkan prinsip kedaulatan karbon nasional.
“Kita fleksibel dalam banyak hal, tapi ada beberapa prinsip yang tidak bisa dinegosiasikan,” kata Diaz. “Misalnya, semua transaksi harus dilakukan di Indonesia karena menyangkut PNBP, harus terdaftar di SRN, dan ada buffer emisi yang sesuai aturan kita.” ***