Ecobiz.asia – Kementerian Lingkungan Hidup menjalin Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan Gold Standard Foundation, salah satu pengembang standar global di pasar karbon sukarela.
Berdasarkan MRA tersebut, sertifikat kredit karbon yang diterbitkan Gold Standard untuk proyek karbon di Indonesia tak perlu lagi melalui proses otorisasi pemerintah jika ditujukan untuk pasar karbon sukarela.
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menjelaskan pasca MRA, ada saling pengakuan antara Sertifikat Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE GRK) yang diterbitkan pemerintah Indonesia dan sertifikat Gold Standard for Global Goals (GS4GG) yang diterbitkan oleh Gold Standard.
Baca juga: Indonesia-Norwegia Perkuat Kerja Sama Lingkungan, Dorong Implementasi Nilai Ekonomi Karbon
“Jadi kita melakukan pengakuan terkait sertifikat dia, demikian juga sebaliknya. Yang dia keluarkan kita akui sebagai kredit Indonesia,” kata Hanif.
Sertifikat yang diterbitkan tersebut dapat diperdagangkan secara internasional melalui dua skema, yaitu compliance dan voluntary.
Hanif menjelaskan bahwa jika sertifikat kredit karbon tersebut akan dipasarkan melalui skema voluntary, dimana tidak terjadi perpindahan emisi karbon, maka otorisasi pemerintah tidak diperlukan.
“Pada saat itu voluntary, maka kita tidak melakukan otorisasi, perpindahan emisi karbon,” kata Hanif.
Baca juga: Capai Kesepakatan, KLH-Gold Standard Teken MRA Perdagangan Karbon
Lebih lanjut Hanif menegaskan, jika kredit karbon tersebut akan dipasarkan melalui pasar compliance, misalnya di bawah Paris Agreement, maka kredit karbon tersebut wajib diotorisasi dan dilakukan Coresponding Adjustment.
“Jadi di sini dilakukan pencatatan pengurangan (kredit karbon), di sana mencatatkan penambahan,” kata Menteri Hanif.
Meski tidak perlu mendapat otorisasi untuk diperdagangkan pada pasar karbon sukarela, Hanif menekankan bahwa setiap sertifikat kredit karbon tetap harus didaftarkan dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) KLH.
“Dalam MRA, seluruh aktivitas wajib melaporkan ke pemerintah Indonesia, kemudian saat berjalan wajib melalui sistem registri Indonesia,” katanya.
Baca juga: Sudah Buat Studi Kelayakan di Dua Lokasi, Perhutani Siap Masuki Bisnis Perdagangan Karbon
Hanif memastikan MRA dengan Gold Standard sesuai Peraturan Presiden No 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 21 tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.
Selain dengan Gold Standard, KLH saat ini juga sedang menjajaki untuk menjalin MRA dengan sejumlah negara dan lembaga internasional lain seperti VERRA dan Plan Vivo.
MRA bilateral dengan Norwegia disebut sebagai yang paling siap untuk diselesaikan dalam waktu dekat, menyusul Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.
Hanif berharap, langkah menjalin MRA dengan lembaga internasional dan negara lain dapat menggairahkan pasar karbon sehingga menyediakan pendanaan untuk penurunan dan penyerapan emisi karbon di tanah air demi mencapai target Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. ***